TeropongIstana.com, Lebak | Industri dan buruh, dua kata tak terpisahkan. Tiada buruh berhentilah aktivitas perusahaan. Ke-duanya sama-sama saling membutuhkan, semacam simbiosis mutualisme. Saya bangga, Kecamatan Cikande menjadi pusat perindustrian di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Bangunan-bangunan besi itu berjejer semakin banyak dan meluas. Bahkan beberapa kampung disana terkena dampak perluasan untuk dijadikan kawasan. Begitu pun kampung yang saya tinggali.
Sawah-sawah dan pemukiman diubah menjadi industri. Produksi yang dihasilkan beragam, tergantung apa yang akan dibuat oleh pabrik itu. Ada yang memproduksi makanan, minuman, komponen kendaraan bahkan permen pun diproduksi secara masal. Oleh siapa? Para buruh tentunya. Pekerja kerah biru menghabiskan waktunya seharian, terkadang bekerja long-shif supaya uang lemburan melimpah. Anak-istri pun bahagia nantinya, atau yang masih jomblo bisa nongkrong dan kongkow bareng sambil traktir teman-teman seusai gajian.
Banyaknya perusahaan-perusahaan di Cikande, tak lebih dari pabrik-pabrik milik orang asing (Jepang, Korea dan Tiongkok). Mereka berinvestasi disini untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Peralihan pertanian ke perindustrian tak terbendung lagi, massif, kian bertambah banyak. Berbeda ketika awal ahun 90-an industri-industri tak sebanyak sekarang. Meminjam kata orang terdahulu di kampung saya dalam bahasa sunda, engke mah pabrik bakal loba, teu katalikuran, sawah-sawah laleungitan (suatu saat nanti pabrik-pabrik semakin banyak, tak terhitung, sawah-sawah menghilang).
Pesatnya perindustrian telah merubah semuanya, terlebih profesi bertani pelan-pelan mulai ditinggalkan. Mereka (buruh) bekerja dengan dan menggunakan mesin pabrik. Teringat lagu Qosidah Nasidaria berjudul “Tahun 2000” dalam baitnya menceritakan manusia berkawan dengan mesin. Pun di suatu pabrik semua serba mesin untuk mempercepat proses produksi. Memburuh telah menjadi pekerjaan kelas bawah untuk mencari uang. Beriringan bertambahnya pabrik, lowongan pekerjaan kian banyak yang melirik. Tentu saja, calon buruh mempersiapkan itu semua agar diterima disalah satu perusahaan. Sayangnya, untuk masuk disuatu pabrik, mereka harus berurusan dengan calo.
Banyak sekali buruh pabrik masuk dengan cara demikian, dan ini berlangsung cukup lama. Pernah suatu ketika saya masih memburuh di perusahaan obat, karyawan senior sempat berkata, awal adanya industri, semua buruh bisa masuk tanpa perantara calo. Namun, saat ini, sangat susah sekali. Ingin menjadi kuli kasar di pabrik saja, calon karyawan harus membayar sekian juta.
Baca Juga : Dapatkan Anggaran Rp 21.2 Triliun di 2025, Kemenkumham Fokus pada Empat Program
Di postingan loker facebook banyak calo-calo menawarkan pekerjaan yang dibandrol jutaan. Sekitar satu hingga enam juta rupiah, tergantung pabrik yang dibidik. Sayangnya pula, oknum-oknum ini telah terorganisasi mulai dari preman, pejabat kelurahan hingga orang dalam di perusahaan saling kerjasama demi melipat gandakan penghasilan. Sehingga alot untuk dibubarkan, karena tersistem. Dukungan pejabat setempat pun jadi alasan kenapa percaloan ini bertahan? Soal duit pastinya.
Banyaknya minat calon kerah biru menjadi lahan empuk oknum-oknum gabungan bersiasat memberikan iming-iming pekerjaan. Wajar, kegiatan ini terus terjadi. Hampir semua orang yang saya kenal dan bekerja di pabrik menggunakan jasa calo. Sebenarnya memberatkan calon buruh itu sendiri, tetapi apalah daya, mereka pun harus mengikuti peraturan ilegal itu. Lagi-lagi atas persetujuan semua pihak. Pepatah seorang calo mengatakan apa pun itu termasuk ingin menjadi buruh pabrik harus ada pelicin. Mindset si calo-calo ini membuat saya miris mendengarnya, antara terbiasa dan membiasakan beda tipis. Terbiasa menggunakan pelicin (uang) atau membiasakan diri dengan pelicin. Barangkali itu yang terpikirkan oleh calon tenaga kerja.
Yang saya sayangkan, kenapa pejabat kelurahan pun ikut-ikutan ambil bagian? Padahal, mereka melayani untuk masyarakat bukan memeras. Apa ini semua sudah membudaya? Sehingga masyarakat seakan terbiasa dengan persoalan demikian. Seolah semua hal yang berbau kepentingan, ekonomi dan kesejahteraan harus dibayar dimuka terlebih dahulu. Sayangnya lagi kenapa pucuk pimpinan tak mau tahu? Berbenah sedikit saja sama sekali tidak. Apalagi menuntaskan praktik-praktik percaloan di kawasan besar penuh industri itu.
Tidak semua perusahaan memang mematok harga untuk calon karyawan, tetapi ada segelintir orang yang terlibat memainkan peran sehingga pabrik bersih (dari praktik percaloan) sekalipun rasanya telah ternodai oleh oknum ini. Uang-uang yang diberikan oleh pengangguran dari mana berasal? Entah hasil berhutang, menggadaikan BPKB atau mungkin menjual perhiasan di rumah? Apa mereka tidak merasa iba ketika si pencari pekerjaan ini harus diperas dengan uang jutaan banyaknya? Saya pikir ini keterlaluan. Kelewatan. Gila-gilaan. Campur berantakan.
Peraturan-peraturan saja seringkali dilanggar, entah apalagi yang harus dikelakar agar praktik perdagangan loker (lowongan pekerjaan) bisa menghilang. Saya sendiri berandai-andai, bila pabrik-pabrik mau terbuka terkait loker, semisal mempublikasikannya secara transparan bukan memberitahu pada orang-orang tertentu. Barangkali bisa menjadi sedikit solusi, contohnya membuat platform semacam website resmi kawasan industri, sehingga calon tenaga kerja tahu perusahaan mana saja yang sedang membutuhkan karyawan. Bila sudah tahu, lalu diarahkan kemana harus menitipkan lamaran. Tapi, bukan untuk dicalo-kan!
Barangkali pihak pabrik pun harus jeli siapa saja orang dalam yang berniat bertindak curang. Pasti ada saja, sayang sukar terendus. Biasanya, bila sampai diketahui, perusahaan idealis akan memecat karyawan yang diterima di tempatnya melalui perantara calo ini. Namun sebaiknya, perusahaan pun harus menindaklanjuti siapa orang dalam yang berperan melakukan praktik semacam itu, supaya tersterilkan.
Praktik ini jelas merugikan. Istilahnya seperti bagi-bagi jatah di kawasan industri dengan preman, pejabat kelurahan dan orang dalam di perusahaan. Meski ada keinginan dari calon buruh untuk menggunakan jasa calo, bisa jadi karena perusahaan menutup-nutupi lowongan pekerjaan untuk diberikan pada mereka yang berani memberi mahar jutaan. Kan, lumayan bukan? Dapat buruhnya, uangnya pun masuk ke kantong perusahaan. Penghasilan sebulan atau dua bulan bekerja di pabrik, hilang untuk modal menyuapi perut lapar calo-calo kawasan.
Meskipun banyak sekali kecurangan, saya yakin peluang melamar pekerjaan bukan melalui percaloan masih ada. Tapi sangat sedikit sekali. Semisal mengikuti program pelatihan di pusat latihan milik pemerintah (Balai Besar Latihan Kerja Industri Provinsi Banten). Barangkali itu jadi jalan keluar mengurangi pengangguran dan praktik percaloan. Tinggal kitanya saja mau atau tidak meningkatkan kemampuan lalu disalurkan ke perusahaan yang bekerjasama dengan pemerintah pusat ataupun daerah. Mengutip kata Kasi Pemberdayaan BBLKI Sayekto menghimbau tingkatkan kemampuan di era MEA ini dengan mengikuti program pelatihan sesuai minat dan keinginan masyarakat. Semua terfasilitasi secara cuma- cuma. Mau lewat calo? Buru-buru sekali.
Penulis : (Anton Su).