Optimalisasi Pemidanaan melalui Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Kitab UU Hukum Pidana, Simak Penjelasannya

Optimalisasi Pemidanaan melalui Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Kitab UU Hukum Pidana, Simak Penjelasannya

Smallest Font
Largest Font

TeropongIstana.com, Bogor | Optimalisasi Pemidanaan melalui Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana .

Banyak perhatian tentang sistem peradilan pidana diarahkan pada fenomena pemidanaan. Pada umumnya untuk mengidentifikasi tujuan pemidanaan bagi seorang pelaku kejahatan, fokus utama diberikan kepada putusan apa yang dijatuhkan oleh Hakim. Padahal tujuan pemidanaan tidak cukup hanya sampai ditetapkan, melainkan harus pula dilaksanakan.

Terdapat banyak teori untuk apa pemidanaan dilakukan, seperti teori pemidanaan detterence, rehabilitasi dan pendidikan serta teori pemidanaaan retributivist dengan pendekatan pembalasan. Meskipun demikian apapun teori yang melatar belakangi penjatuhan pidana, pada akhirnya keberhasilan dari tujuan tersebut bergantung pada bagaimana pelaksanaannya.

Dalam hal ini Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana memiliki peran dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Ketika tujuan pemidanaan adalah pembalasan, maka siapa yang melaksanakan pemberian nestapa? Ketika tujuan pemidanaan adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya (special detterence), maka siapakah yang melaksanakan assesmen guna mengidentifikasi tingkat residivis pelaku kejahatan? Ketika tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi, maka siapakah yang akan menyusun dan melaksanakan program pembinaan? Benarkah lembaga ini hanya bekerja diujung sistem peradilan pidana?

Tujuh belas tahun semenjak UU No. 12 Tahun 1995 disahkan, hadir UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU ini menempatkan Pemasyarakatan yang awalnya dikenal sebagai muara akhir dalam sistem peradilan pidana menjadi berkembang ruang lingkupnya. Pemasyarakatan melalui peran Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) hadir dalam sistem peradilan pidana anak mulai dari tahapan pra adjudikasi sampai dengan purna adjudikasi .

Dalam UU SPPA, Bapas melalui Pembimbing Kemasyarakatan wajib dilibatkan dalam proses penyidikan, penuntutan maupun persidangan guna melakukan pendampingan terhadap anak berkonflik dengan hukum. Selain melakukan pendampingan, Pembimbing Kemasyarakatan diwajibkan pula untuk membuat laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas). Laporan Litmas merupakan salah satu produk utama yang dihasilkan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan di Bapas.

Terdapat beberapa jenis penelitian kemasyarakatan dengan kegunaannya masing-masing seperti contohnya penelitian kemasyarakatan untuk peradilan anak, penelitian kemasyarakatan untuk program pembinaan, penelitian kemasyarakatan untuk penempatan narapidana, penelitian kemasyarakatan untuk pelayanan tahanan, penelitian kemasyarakatan untuk perubahan pidana. Berbagai litmas ini memiliki perannya masing-masing terhadap pelaksanaan pemidanaan bagi pelaku kejahatan.

Pada awalnya Litmas yang dibuat Pembimbing Kemasyarakatan digunakan mengetahui latar belakang kehidupan Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 1 angka (3) PP No. 31 Tahun 1999). Setelah berlaku UU SPPA, Litmas digunakan aparat penegak hukum sebagai salah satu dasar pertimbangan ketika memproses ataupun akan memutus perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Perkembangan selanjutnya hadir seiring dengan telah disahkan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP 2023). KUHP 2023 melalui sejumlah kebaruan di dalamnya semakin menguatkan posisi Pemasyarakatan dan Bapas dalam proses pemidanaan.

Terkait dengan pemidanaan, tujuan yang ingin dicapai dari pencantuman suatu sanksi pidana belum pernah dirumuskan baik dalam KUHP lama maupun dalam perundang-undangan lain di Indonesia. Tujuan dari pemidanaan Indonesia baru dihadirkan dalam Pasal 51 KUHP 2023.

Dalam rumusan Pasal 51 RUU KUHP pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; (pemasyarakatan atau rehabilitasi)

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan (restoratif), serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;

d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Tujuan pemidanaan dalam KUHP 2023 yaitu pencegahan, pemasyarakatan atau rehabilitasi, restoratif serta menumbuhkan rasa penyesalan terpidana telah menempatkan peran Pemasyarakatan menjadi tidak kalah penting dari lembaga lain dalam sub sistem peradilan pidana Indonesia.

Tujuan dari pemindanaan dalam KUHP 2023 sejalan pula dengan tujuan disahkannya UU Pemasyarakatan baru yaitu UU No. 22 Tahun 2022. Tujuan dari dibentuknya UU baru selain untuk memperkuat konsep reintegrasi sosial juga memperkuat konsep keadilan restoratif yang dianut dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan pembaruan hukum pidana nasional Indonesia.

Perkembangan selanjutnya, seiring telah disahkan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP 2023) tidak menutup kemungkinan adanya kebutuhan laporan Litmas berupa Litmas untuk Peradilan bagi pelaku dewasa. Dasar hadirnya pelaksanaan pembuatan Litmas guna kepentingan proses peradilan bagi pelaku dewasa adalah Pasal 54 KUHP 2023 tentang pedoman pemidanaan. Isi Pasal 54 KUHP 2023:

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

a. bentuk kesalahan pelaku tindak pidana;

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. sikap batin pelaku tindak pidana;

d. tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;

e. cara melakukan tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;

g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelalu tindak pidana;

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban; dan/ atau

k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Isi Pasal 54 KUHP 2023 mengindikasikan adanya pergeseran menuju individualisasi pemidanaan yang belum didapati dalam KUHP terdahulu. Individualisasi pemidanaan yang dimaksud adalah penjatuhan pidana dengan mempertimbangkan unsur yang bukan hanya berkaitan dengan pembuktian dakwaan tetapi juga pertimbangan lainnya terkait kondisi pelaku.

Kondisi yang dimaksud antara lain hasil penelitian terkait riwayat hidup, keadaan sosial, keadaan ekonomi, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, korban dan masyarakat. Kondisi yang menjadi pertimbangan hakim dalam pedoman pemidanaan pada Pasal 54 RUU KUHP apabila diamati sesungguhnya terdapat dalam komponen Litmas yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Komponen Litmas selain memuat identitas dan riwayat hidup pelaku memuat pula tanggapan dari korban yaitu apakah terdapat pemaafan dari korban dan/atau keluarganya serta tanggapan dari masyarakat terkait tindak pidana yang dilakukan pelaku.

Perkembangan lainnya dalam KUHP 2023 yaitu terdapat beberapa jenis pidana baru. Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 10 KUHP, di dalam KUHP 2023 selain terdapat pidana pokok dan pidana tambahan terdapat pula adanya tindakan. Pidana pokok yang dirumuskan dalam KUHP 2023 terdapat pula penambahan jenis pidana baru yaitu pidana pengawasan dan juga pidana kerja sosial.

Adapun jenis tindakan yang diberikan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu tindakan yang dapat dikenakan bersama pidana pokok (konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga, perbaikan akibat tindak pidana) dan tindakan yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana yang memiliki kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual (penyerahan kepada seseorang, perawatan di lembaga, penyerahan kepada pemerintah, perawatan di rumah sakit jiwa.

Hadirnya pidana baru seperti pidana pengawasan dan juga pidana kerja sosial membawa impikasi terhadap peran Pembimbing Kemasyarakatan dan pelaksanaan peradilan pidana.

Sebab pidana-pidana tersebut yang sebagaimana diatur pula dalam Pasal 57 UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaannya akan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sebagai pihak yang akan melaksanakan pembimbingan dan pengawasan terkait pidana-pidana tersebut, maka Pembimbing Kemasyarakatan dapat memberikan masukan kepada hakim terkait rekomendasi jenis pidana yang akan dijatuhkan dengan tujuan agar pidana tersebut dapat benar-benar terlaksana dengan hasil yang baik nantinya.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembaruan hukum pidana Indonesia melalui disahkannya KUHP 2023 membuat sejumlah kebaruan terutama terkait pidana dan juga pemidanaan.

Dirumuskannya tujuan pemidanaan dan juga hadirnya konsep individualisasi pidana membawa pula perkembangan ruang lingkup tugas Pembimbing Kemasyarakatan melalui pelaksanaan pendampingan, pengawasan dan pembimbingan serta pembuatan laporan Litmas sebagai produk utama pelaksanaan tugas Bapas.

Untuk itu perlu dipersiapkan konsep pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan yang mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi. Salah satu upaya yang perlu diupayakan adalah dilaksanakannya diskusi bersama dengan aparat penegak hukum lain untuk memperoleh kesepahaman terkait pelaksanaan proses pemidanaan terutama terkait hadirnya jenis-jenis pidana baru apabila kelak RUU KUHP sudah mulai diberlakukan pada tahun 2026.

Penulis : Julizar Jusuf H

Editor : Dn

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Penulis Author