Menu

Mode Gelap
Miskinkan, Kejari Tanjung Perak Sita Rp 3,5 Miliar dari Tersangka MK Kasus Korupsi Fasilitas Bank BUMN Kejari Jakarta Utara Tetapkan Dua Tersangka BRI Sunter Peduli Masyarakat, Ormas RGPI DPW Lebak Gelar Penyerahan Satu Unit Ambulans Elite Circle lokal, Korps Alumni KNPI Kabupaten Bandung Barat Sosialisasi Wakaf dan Penyaluran Manfaat Program Qardhul Hasan Politisi Demokrat Minta Kenaikan PBB di Kota Parepare Harus Ada Azas Keadilan

Nasional

Simak Penjelasan Goenawan Mohamad, Cek Selengkapnya


Keterangan Poto: Budayawan yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM) . Perbesar

Keterangan Poto: Budayawan yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM) .

Teropongistana.com

Jakarta – Budayawan yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM) Menjelaskan, Banyak sekali pertanyaan benarkah saya yang menulis sebuah statemen tentang pemerintahan Presiden Jokowi tulisan yang ditandatangani “Gunawan Muhammad.

Itu bukan nama saya. Nama saya “Goenawan Mohamad”. Dalam paspor ada tambahan “Susatyo”.

Tapi saya memang pendukung Jokowi. Bukan hanya pendukung yang pasif. Saya misalnya ikut berkampanye sampai malam di Sukabumi ikut mengorganisir rapat umum di Jakarta menulis teks digital maupun bukan menyelenggarakan tujuh malam musik dan pertunjukan di Komunitas Salihara bersama banyak sekali seniman bahkan ikut menyumbangkan dana,” Jakarta 14/10.

Saya tak pernah lupa saya, di umur yang tak lagi muda, berjalan kaki siang hari bersama rombongan pedagang kaki lima pendukung Jokowi, dari Dukuh Atas sampai di depan Istana Merdeka, buat menyambut terpilihnya Jokowi lagi di tahun 2015.

Kini di tahun 2023, kepresidenan Jokowi akan berakhir dan saya bangga, sebagaîmana banyak orang, pemerintahan ini tampak akan berakhir dengan gemilang. Negeri aman, ekonomi tumbuh, banyak fasilitas dibangun untuk rakyat.

Saya berdoa agar rasa bangga itu berlanjut, agar Indonesia, negeri dengan sejarah yang berbekas luka ini, memiliki pemimpin tauladan: jujur, bekerja keras, dekat dengan rakyat, jauh dari mengejar harta dan kuasa untuk diri dan keluarganya. Dalam sebuah interview tahun 2022 di Tokyo saya mengatakan Jokowi presiden terbaik dalam sejarah Indonesia sampai sekarang.

Tapi di tahun 2023, saya diingatkan kearifan klasik, bahwa seorang pemimpin yang dipuja dan dipuji adalah seorang manusia yang digoda. Kekuasaan dan pujian itu madat bagi orang yang di atas tahta, dan orang gampang mencandu kepadanya.

Dan dengan sedih saya menyaksikan bahwa Jokowi juga terkena madat itu. Ia tak mudah lagi dikritik ia tak mendengarkan saran-saran akal sehat misalnya agar membangun ibukota baru tanpa tergesa-gesa.

” Ide baik itu akan berantakan jika tak direalisasikan dengan seksama.

Yang terakhir, Presiden Jokowi sebagaimana saya temukan sedikit demi sedikit  melakukan apa yang dilakukan Suharto: memberi perlakuan istimewa bagi anak-anaknya.

Semula saya dan banyak orang pernah kagum, juga terharu, melihat Gibran dan Kaesang bekerja sebagai pengusaha biasa (jual martabak dan pisang goreng), bukan dengan memonopoli bidang bisnis besar seperti anak-anak Suharto.

Tapi ketika dengan mudahnya  tanpa kompetisi terbuka, tanpa prosedur yang benar putra-putra Jokowi naik ke kursi kekuasaan, saya mulai ragu dan meneliti. Ternyata Jokowi, presiden saya, presiden yang dicintai rakyat, telah memberi mereka keistimewaan secara tak adil, Saya terhenyak. Saya kecewa dan sedih.

Puncaknya hari-hari ini. Dengan tipu muslihat dan dana yang bermilyar-milyar, jalan Gibran untuk jadi wakil presiden disiapkan.

Gibran mungkin walikota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena tak pernah ada pertandingan. Ia juara yang tak sejati. Dan lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati.

Saya sedih melihat itu semua. Demokrasi dimulai dengan sangka baik tentang yang memilih dan yang dipilih dan mengandung kepercayaan kepada sesama. Kini sangka baik itu retak, mungkin rusak parah, karena orang yang kita percayai ternyata culas. Padahal sangka baik meskipun mungkin naive adalah modal sosial untuk membangun kebersamaan bangsa.

Saya sadar saya dan banyak orang lain seperti saya, tak berdaya melawan. Kami tak punya tentara, polisi dan birokrasi untuk menggertak, tak punya uang trilyunan untuk menyuap.

Tapi tak bisa saya akan hanya diam; saya akan bersalah kepada negeri kita yang satu-satunya ini jika saya hanya diam. Dengan catatan dalam umur lanjut ini, saya sadar batas. Tanpa ingin lumpuh.

Saya masih berbahagia bahwa di masa ketika nilai-nilai disingkirkan saya masih bisa menulis dan melukis kegiatan di mana apa yang baik selalu mengimbau agar diraih dan yang palsu dibuang.

Dan saya masih punya teman-teman yang tetap setia kepada prinsip, tak mau ikut mempraktekkan politik yang tanpa nilai-nilai.

Saya masih mendengar mereka yang menggertakkan geraham berkata “Cukup! Hentikan!” mereka yang tahu apa yang bakal hancur, bakal direnggutkan dari generasi Indonesia yang akan datang.

Baca Lainnya

Jokowi dan Prabowo Harus Bertanggung Jawab Secara Moral atas Kasus Immanuel Ebenezer

22 Agustus 2025 - 13:17 WIB

Isu Munaslub Golkar Mencuat, Bahlil Dinilai Terlalu Dekat Dengan Jokowi

Pengamat Politik Desak Presiden Prabowo Copot Menteri yang Bikin Kegaduhan

22 Agustus 2025 - 12:23 WIB

Pengamat Politik Desak Presiden Prabowo Copot Menteri Yang Bikin Kegaduhan

Artis Kamelia Petir Dukung Audit WAMI dan Lembaga Kolektor Musik untuk Transparansi

22 Agustus 2025 - 09:18 WIB

Artis Kamelia Petir Dukung Audit Wami Dan Lembaga Kolektor Musik Untuk Transparansi
Trending di Nasional