Teropongistana.com Jakarta – Di tengah perjuangan Pemprov DKI menata ruang terbuka hijau kawasan Kebayoran Baru, sekelompok politisi dan anggota DPRD dari PSI nampak memanfaatkan isu relokasi Pasar Barito sebagai panggung empati dadakan. Dengan kamera siap siaga layaknya pemeran utama film dokumenter politik. mereka tampil dan berpose bersama sekelompok orang yang diklaim sebagai perwakilan pedagang pasar barito.
Advokasi yang seharusnya menenangkan warga justru bisa berubah menjadi sesi pencitraan terencana saat perjuangan hak masyarakat hanya riuh di media, Pose prihatin di depan kios, caption heroik di media sosial, atau bahkan video berdurasi satu menit yang diunggah dengan tagar perjuangan—semuanya tersusun rapi. Tapi di balik narasi “pembelaan rakyat”, tak banyak substansi yang tersisa.
“Kalau ini advokasi, mestinya ada riset, data, dan dialog. Tapi yang saya lihat hanya simbol dan narasi visual,” kata Farid pengamat komunikasi politik dari ICI, Ia menilai fenomena semacam ini sebagai “politik pose”—saat aksi lebih penting dari isi.
Pemprov DKI sendiri mengaku sedang bekerja keras menyelesaikan penataan kawasan itu secara manusiawi. Proyek relokasi yang dikaitkan dengan perluasan Taman ASEAN disebut sudah hampir rampung, dengan lokasi baru di Lenteng Agung.
“Kami tidak menutup mata pada pedagang, tapi kota ini juga butuh ruang hijau,” ujar Kepala Dinas UMKM DKI.
Di lapangan, para pedagang justru merasa menjadi objek perhatian mendadak.
“Banyak yang datang, bilang mau bantu, tapi cuma foto-foto terus pergi,” ujar Warto, pedagang burung di Barito.
Suaranya datar, seperti sudah sering melihat siklus politik yang sama setiap kali isu rakyat mencuat.
Bagi pengamat kebijakan publik, fenomena ini menggambarkan bagaimana politik urban Jakarta kini bergeser dari kerja nyata ke pertunjukan citra.
“Ruang publik jadi teater, dan rakyat hanya figuran. Semua ingin tampak berpihak, tapi tak ada yang benar-benar turun dengan data dan solusi,” tambah Heri.
Sementara Pemda menata taman dan infrastruktur, sebagian politisi justru sibuk menata pencitraan. Advokasi berubah jadi bahan unggahan, dan kepedulian dikurasi layaknya konten promosi. Ironinya, yang diperjuangkan bukan nasib rakyat, melainkan algoritma.