Teropongistana.com Jakarta – Di penghujung tahun 2025, saat kita merefleksikan capaian penegakan hukum di Indonesia, satu nama lembaga yang terus mencuri perhatian adalah Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam perbandingan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejagung bukan hanya menonjol ia menjadi simbol harapan baru dalam perang melawan korupsi.
Opini saya, berdasarkan data dan dinamika sepanjang tahun ini, adalah bahwa Kejagung telah merevolusi pendekatan pemberantasan korupsi dengan fokus pada hasil nyata: pengembalian aset negara dalam skala triliunan rupiah. Ini bukan sekadar pencitraan, melainkan bukti konkret bahwa transparansi dan akuntabilitas bisa menjadi senjata ampuh.
Mari kita mulai dari angka-angka yang tak bisa dibantah. Sepanjang 2025, Kejagung berhasil menyita dan mengembalikan kerugian negara melebihi Rp 30 triliun dari kasus-kasus mega seperti korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO), impor gula, dan penertiban kawasan hutan.
Ekspos Juni dengan Rp 11,8 triliun, Oktober dengan Rp 13,25 triliun, dan Desember dengan Rp 6,6 triliun semuanya disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto bukan hanya angka di kertas, tapi tumpukan uang tunai asli yang memenuhi lobi gedung mereka.
Ini adalah rekor sejarah, dan strategi “kerja senyap, ekspos besar” ini telah membangun kepercayaan publik. Survei dari Indikator Politik Indonesia dan LSI Denny JA menempatkan Kejagung di puncak dengan tingkat kepercayaan 70-79%, jauh di atas KPK (64-72%) dan Polri (54-69%).
Sebaliknya, KPK, yang dulu dikenal sebagai “pemburu koruptor” andalan, tampak kehilangan momentum di aspek pemulihan aset. Total recovery mereka hanya sekitar Rp 1,53 triliun sepanjang tahun, dengan ekspos terbesar di November sebesar Rp 300 miliar dari kasus Taspen yang ironisnya ternyata menggunakan uang pinjaman bank untuk display konferensi pers, bukan sitaan langsung.
KPK memang unggul dalam operasi tangkap tangan (OTT) dengan 118 tersangka, tapi opini saya adalah bahwa pencegahan dan penindakan saja tidak cukup tanpa hasil finansial yang signifikan. Di era di mana korupsi merusak ekonomi nasional, pengembalian uang negara harus menjadi prioritas utama, dan di sini KPK masih tertinggal.
Polri, sebagai garda terdepan dalam penyelidikan awal, juga patut diapresiasi atas kontribusinya dalam sinergi dengan lembaga lain. Namun, tanpa ekspos aset besar seperti yang dilakukan Kejagung, peran mereka lebih terasa sebagai pendukung daripada pemimpin. Tahun 2025 menunjukkan bahwa Polri kuat di lapangan, tapi nilai pengembalian aset mereka tidak mencolok, membuat citra mereka kalah dominan dibanding Kejagung.
Apa yang membuat Kejagung begitu menonjol? Jawabannya adalah inovasi dan keberanian. Dengan kolaborasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan fokus pada korporasi besar seperti Wilmar Group atau Duta Palma, mereka tidak hanya menangkap pelaku tapi juga “menyelamatkan” uang rakyat.
Ekspos visual tumpukan uang yang viral di media sosial bukan gimmick, itu adalah bentuk transparansi yang membangun rasa percaya. Di tengah kritik dari analis seperti MAKI dan ICW yang menyebut KPK lebih condong ke “pencitraan”, Kejagung membuktikan bahwa hasil nyata berbicara lebih lantang daripada OTT semata.
Tentu saja, ketiga lembaga ini saling melengkapi. KPK tetap vital untuk pencegahan, Polri untuk penyelidikan, dan Kejagung untuk eksekusi akhir. Namun, di tahun 2025, Kejagung adalah bintang terang yang menginspirasi. Opini saya, Jika tren ini berlanjut, Indonesia bisa melihatkan korupsi bukan sebagai mimpi, tapi realitas. Pemerintah dan masyarakat harus mendukung sinergi ini, karena hanya dengan begitu kita bisa membangun bangsa yang lebih adil dan sejahtera.
Sekian dan salam Selamat Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Opini ini tidak mewakili lembaga mana pun















