Menu

Mode Gelap
Arif Rahman Kembangkan Sentra Emping Pandeglang: Produk Lokal Kita Harus Mendunia Kemenag Inisiasi Forum Akademik Internasional Terkait Gaza dan Perdamaian Dunia Diduga Tak Miliki Izin, PT SGT di Jawilan Bodong dan Berbahaya Gerak 08 Banten Desak Satgas PKH Sikat Habis Tambang Ilegal di Indonesia Perusahaan Tambang Merasa Dipersulit, MinerbaOne Error dan Revisi RKAB Penjelasan Ahli Waris Suparno terkait Ganti Rugi Pembebasan Lahan Bandara Soetta

Opini

Ketua Kajian Rumah Pancasila : MPR Lembaga Tertinggi Negara Bukan Lembaga Politik


Ketua Kajian Rumah Pancasila : MPR Lembaga Tertinggi Negara Bukan Lembaga Politik Perbesar

TeropongIstana.com, Jakarta 20/8/20223

Oleh Prihandoyo Kuswanto

Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila.

Isu terhadap UUD 1945 akan di amandemen ke lima untuk sekedar memasukan PPHN dan MPR menjadi Lembaga Tertinggi Negara kurang tepat sebab UUD hasil amandemen yang biasa disebut UUD 2002 tidak menggunakan sistem kolektivisme secara filosofi UUD 2002 Dengan sistem presidensiilyang basis nya Individualisme bertentangan dengan Pancasila ,dan pembukaan UUD 1945.

Amandemen yang hanya ingin menempelkan PPHN justru akan menambah kerusakan ketatanegaraan kita jika kita tidak mengembalikan pada sistem kolektivisme .
Sebab MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu mempunyai kewenangan
1.Menyusun politik Rakyat yang di sebut GBHN .
2.Mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden
3.mengesahkan UUD.
Jadi lebih tepat kembali ke UUD 1945 asli.

Di dalam Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji belasan konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, sepertir Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (Nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian lebih memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (USA) dan sistem parlementer (Inggris).

Baca Juga : Puluhan Komunitas Kembali Deklarasi di Depan Perwakilan DPRD

Sistem presidensial ala USA, ditolak. Sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia Kecil Perancang UUD kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ini dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.

Sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang berbhinnekatunggal Ika baik dalam suku, agama, ras, golongan adat istiadat maupun bahasa.

Di dalam MPR ini lah seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN), memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil presiden,serta membuat dan merubah Undang-undang Dasar.

Kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan individu) adalah kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di dalam lembaga MPR.

Karena itulah MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tetapi sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Ini harus dipahami mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).

Lembaga-lembaga di bawah MPR adalah lembaga-lembaga tinggi negara yang bekerja setiap hari dan setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah ditentukan dan diamanahkan kepada lembaga-lembaga negara tersebut.

Ini Juga : IT Selaku Anggota Komisi I DPR RI Ditetapkan Tersangka Perkara Korupsi Pertambangan PT Sendawar Jaya

Sebagai lembaga yang menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan keanggotaan terdiri dari Anggota DPR, Utusan-utusan Daerah, dan Utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, Anggota MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang.
Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.

Sistem MPR sebagai Sistem Sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.

Dengan memahami hal ini, maka ketika UUD Pasal 1 ayat 2, yang semula berbunyi, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diamandemen sehingga bunyinya menjadi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, maka saat itulah bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah runtuh.

Dalam sistem presidensial seperti sekarang ini (versi UUD 2002) kedaulatan rakyat menjadi kabur. Kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial (versi UUD 2002) telah diterjemahkan menjadi kedaulatan individu (dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah). Kedaulatan rakyat dikaburkan menjadi pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.

Sementara itu, dalam sistem presidensial ini, presiden pada dasarnya menjalankan politiknya sendiri, bukan menjalankan politik rakyat.

Dalam sistem MPR (versi UUD 1945 Naskah Asli) kehendak rakyat yang sebenarnya, melalui wakil-wakilnya, kemudian dimusyawarahkan sehingga menjadi ‘politik rakyat’ dalam bentuk haluan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh mandataris (presiden yang dipilih oleh MPR).

Baca Ini : Anggota DPR Adde Rosi Sebut Pelaku Kekerasan Seksual Tak Ada Ampun

Jadi dalam sistem MPR ini, Presiden seharusnya tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, melainkan harus menjalankan politik rakyat yang tertuang di dalam GBHN. Dengan sistem seperti ini, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden selaku mandataris MPR jika diketahui Presiden telah melanggar atau menyimpang dari GBHN.Presiden bisa di turunkan .

DPR dengan sistem ini pun memiliki standar parameter dalam melakukan pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan GBHN oleh Presiden.

Dengan penjelasan diatas harus nya MPR tidak melakukan amandemen ke lima tetapi kembali pada UUD 1945. Jika kita semua ingin menyelamatkan masa depan Bangsa Indonesia.

(Deni/red) 

Baca Lainnya

Mengubur Reformasi dengan Gelar Kepahlawanan

13 November 2025 - 13:47 WIB

Mengubur Reformasi Dengan Gelar Kepahlawanan

Pahlawan Sejati: Keteladanan Pemimpin Muda Harapan Bangsa

10 November 2025 - 12:23 WIB

Pahlawan Sejati: Keteladanan Pemimpin Muda Harapan Bangsa

Ayep Zaki Bangsa Besar Bukan Hanya Mengenang Perjuangan

29 Oktober 2025 - 13:08 WIB

Sumpah Pemuda: Momentum Kebangkitan Kolektif Tanggal 28 Oktober Selalu Mengingatkan Bangsa Ini Pada Ikrar Sakral Para Pemuda Tahun 1928: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa—Indonesia. Sumpah Pemuda Bukan Sekadar Peristiwa Historis, Tetapi Energi Moral Untuk Terus Memperjuangkan Kemandirian Bangsa. Dulu Perjuangan Dilakukan Dengan Bambu Runcing Dan Pena, Kini Perjuangan Itu Menuntut Transformasi Ekonomi, Kemandirian Finansial, Dan Keadilan Sosial. Spirit Sumpah Pemuda Hari Ini Harus Diterjemahkan Ke Dalam Gerakan Ekonomi Umat Yang Kuat Dan Berkelanjutan. Salah Satu Instrumen Strategis Yang Sesuai Dengan Nilai Keikhlasan, Gotong Royong, Dan Keadilan Sosial Adalah Wakaf Uang. *Wakaf Uang: Instrumen Kemandirian Ekonomi Umat* Wakaf Uang Bukan Sekadar Ibadah Sosial, Melainkan _Financial Instrument_ Yang Mampu Menciptakan Keberlanjutan Ekonomi Berbasis Nilai. Dengan Regulasi Yang Jelas Melalui Uu No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pp No. 42 Tahun 2006, Dan Dukungan Peraturan Bwi Dan Dsn-Mui, Wakaf Uang Kini Bisa Dikelola Secara Profesional, Transparan, Dan Produktif. Setiap Rupiah Wakaf Uang Memiliki Kekuatan Mengganda: Abadi Dalam Nilai, Produktif Dalam Manfaat. Ketika Dikelola Dengan Prinsip Wakaf Produktif, Dana Ini Dapat Diinvestasikan Ke Instrumen Syariah Seperti Sukuk Negara, Sukuk Korporasi, Cwls (Cash Waqf Linked Sukuk), Cwld (Cash Waqf Linked Deposit), Atau Sektor Riil Yang Menumbuhkan Pelaku Usaha Mikro. Keuntungan Hasil Pengelolaan Disalurkan Kembali Untuk Pemberdayaan Sosial, Pendidikan, Kesehatan, Dan Umk Tanpa Mengurangi Pokoknya. *Dari Idealisme Pemuda Ke Gerakan Ekonomi* Pemuda Hari Ini Tidak Hanya Ditantang Untuk Bersumpah Tentang Identitas, Tetapi Juga Untuk Berikrar Atas Kemandirian Ekonomi Bangsanya Sendiri. Melalui Gerakan Wakaf Uang, Pemuda Dapat Berperan Sebagai Penggerak Transformasi Finansial Yang Berlandaskan Nilai Spiritual. Bayangkan Jika Satu Juta Pemuda Indonesia Mewakafkan Rp100.000 Saja Setiap Bulan. Maka Akan Terkumpul Dana Abadi Rp100 Miliar Per Bulan—Sebuah Dana Kedaulatan Ekonomi Umat Yang Dapat Menghidupi Ribuan Umk Melalui Skema Qardhul Hasan, Membantu Pesantren, Membantu Kaum Dhu'Afa, Dan Memperkuat Ketahanan Sosial Masyarakat. Inilah Bentuk Baru “Sumpah Pemuda Ekonomi”: Satu Visi Kesejahteraan, Satu Semangat Kemandirian, Satu Aksi Wakaf Produktif. *Menanam Abadi, Menuai Berkah Tanpa Henti* Dalam Konsep Ekonomi Wakaf, _Giving Never Ends_. Nilai Kebaikan Terus Berputar, Menciptakan Rantai Keberkahan Yang Tidak Terputus. Wakaf Uang Adalah Jihad Ekonomi Yang Menjadikan Setiap Pemuda Bukan Sekadar Konsumen Global, Tetapi Produsen Kebaikan. Momentum Hari Sumpah Pemuda Harus Menjadi Titik Balik Untuk Mengubah Paradigma: Dari _Charity-Based Movement_ Menuju _Investment-Based Philanthropy_. Gerakan Ini Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Membangun Sistem Ekonomi Yang Berkeadilan Dan Berkelanjutan. *Wakaf Uang* Adalah Jembatan Antara Iman Dan Pembangunan, Antara Spiritualitas Dan Kemandirian Nasional. Jika Sumpah Pemuda 1928 Melahirkan Indonesia Merdeka, Maka Sumpah Pemuda Ekonomi Melalui Wakaf Uang Akan Melahirkan Indonesia Berdaulat Dan Makmur. “Bangsa Yang Besar Bukan Hanya Yang Mengenang Perjuangan, Tetapi Yang Melanjutkan Perjuangan Dengan Cara Yang Relevan Di Zamannya.”
Trending di Opini