Menu

Mode Gelap
Ikatan Keluarga Besar Pemuda Tegal Bersatu Apresiasi Respons Cepat Sufmi Dasco Soal Rehabilitasi Dua Guru di SMA 1 Luwu Utara Arif Rahman Kembangkan Sentra Emping Pandeglang: Produk Lokal Kita Harus Mendunia Kemenag Inisiasi Forum Akademik Internasional Terkait Gaza dan Perdamaian Dunia Diduga Tak Miliki Izin, PT SGT di Jawilan Bodong dan Berbahaya Gerak 08 Banten Desak Satgas PKH Sikat Habis Tambang Ilegal di Indonesia Perusahaan Tambang Merasa Dipersulit, MinerbaOne Error dan Revisi RKAB

Opini

Prof Dr Ali Mochtar Ngabalin : Keakraban Kedua Tokoh Pertanda Kemajuan Bangsa


Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin  Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Kirea Selatan, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasiinal. Perbesar

Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin  Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Kirea Selatan, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasiinal.

Teropongistana.com Jakarta – Segala puji bagi Allah yang mempertemukan dua hati yang telah matang oleh ujian dan dipertemukan kembali bukan untuk saling menaklukkan, tapi saling memeluk. Ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa, bukan logika. Dan pertemuan mereka adalah bagian dari itu.

Di sebuah warung kecil di Kota Solo, bukan di istana megah atau ruang sidang yang angkuh, dua jiwa besar bangsa ini memilih duduk berhadapan. Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Bukan dengan seragam formal, bukan dengan protokol yang kaku. Hanya dua sahabat lama yang telah melewati badai panjang, kini duduk dengan tenang, apa adanya, di atas meja kayu sederhana.

Inilah Indonesia yang sejati. Bukan Indonesia yang dibangun atas arogansi kekuasaan atau dendam politik yang berlarut, tapi Indonesia yang mampu memeluk perbedaan dalam keheningan yang penuh kasih dan makna. Sebuah Indonesia yang kita rindukan, yang bersatu dalam diam, dalam saling percaya, dalam keikhlasan.

Saya memandang foto itu dengan hati yang masygul. Ada keharuan yang tak bisa disembunyikan. Karena beginilah seharusnya pemimpin-pemimpin bangsa duduk: bukan untuk membuktikan siapa yang paling hebat, tapi untuk memikirkan bagaimana bangsa ini bisa menjadi lebih baik.

Mereka telah selesai dengan ego. Mereka telah dewasa dengan luka dan pilihan. Yang tersisa kini hanyalah tanggung jawab, dan cinta, pada negeri yang mereka cintai. Saya yakin, mereka tidak hanya duduk sebagai tokoh publik, tapi sebagai ayah, sebagai sahabat, sebagai anak bangsa yang ingin menuntaskan satu tanggung jawab terakhir: memastikan Indonesia berada di tangan yang saling percaya.

Kesederhanaan adalah kekuatan yang tak bisa dipalsukan. Socrates pernah berkata bahwa manusia yang paling bijak adalah yang tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa. Dan di meja warung itu, dua pemimpin besar tampak melepaskan topeng kekuasaan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Dua anak bangsa yang duduk, mendengar, berbagi, dan merenung, bukan demi kekuasaan, tapi demi masa depan yang akan mereka wariskan.

Dan mereka tidak sendiri. Hadir empat sosok penting yang menyaksikan momen langka itu: Angga Raka Prabowo (Wakil Menteri Kominfo), Sugiono (Menteri Luar Negeri), Prasetyo Hadi (Menteri Sekretaris Negara), dan Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, ajudan setia Pak Jokowi yang tetap mendampingi, bahkan saat masa jabatan telah berakhir.

Mereka hadir bukan sebagai pelengkap. Mereka adalah representasi nyata dari kesetiaan, dedikasi, dan panggilan hati untuk bangsa ini. Mereka bukan pejabat yang sekadar mengejar kursi, tapi manusia-manusia yang paham bahwa melayani bukanlah proyek, melainkan tugas suci. Mereka duduk bukan untuk difoto, tapi sebagai saksi bahwa transisi ini dilandasi ketulusan dan kehormatan.

Dan kemudian, gestur paling sederhana sekaligus paling bermakna: Pak Jokowi mengantar Pak Prabowo hingga ke Bandara Solo. Tanpa rombongan besar. Tanpa kamera yang menguntit. Hanya seorang sahabat yang mengantar sahabatnya pulang, dengan hormat dan ketulusan. Itulah kekuasaan sejati, yang tidak ditunjukkan lewat simbol, tapi lewat kerendahan hati dan kesetiaan hingga akhir.

Inilah pelajaran besar bagi kita semua, bahwa bangsa ini tidak akan maju karena hebatnya satu orang, tapi karena kemauan kita untuk bersatu melampaui perbedaan. Kita tidak akan kuat karena bisa mengalahkan lawan politik, tapi karena mampu mengubah lawan menjadi mitra dalam membangun masa depan bersama.

Indonesia tidak butuh superhero. Yang kita butuhkan adalah pemimpin-pemimpin yang sudah tuntas dengan ambisi pribadinya, sehingga bisa fokus pada ambisi kolektif sebagai bangsa. Pemimpin yang tidak bertanya, “Apa yang bisa saya ambil dari bangsa ini?” tapi “Apa yang bisa saya persembahkan?”

Dari warung sederhana di Solo itu, kita belajar satu hal: harapan baru tak selalu lahir dari podium atau ruang sidang. Kadang ia tumbuh dari meja kayu kecil, dari gelas teh hangat, dari tawa yang jujur, dan dari persahabatan yang dipertemukan kembali oleh takdir yang luhur. Di sela toples kerupuk dan gelas teh yang mengembun, dua sahabat itu berbicara pelan… seperti dua ayah bangsa yang tahu waktunya tak panjang, tapi harapannya masih dalam.

Tuhan memang Maha Bijaksana. Ia tidak mengutus malaikat untuk memimpin bangsa ini. Ia mengutus manusia. Manusia-manusia yang pernah kalah, pernah salah, pernah diuji. Tapi justru karena itu mereka menjadi kuat, dan memilih untuk mengabdi pada sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri

Dua pemimpin. Satu meja. Satu bangsa.

Dan dari kesederhanaan itu, kita mengerti: Indonesia bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan digunakan untuk memeluk seluruh anak bangsa dalam kasih sayang yang tulus.

Mari kita jadikan momen ini sebagai cermin. Di tengah hiruk-pikuk politik yang sering membuat kita lupa arah, masih ada ruang untuk duduk bersama dan memilih persatuan. Inilah Indonesia yang tidak dibangun dari kemarahan, tapi dari cinta. Dan semoga anak-anak kita kelak membaca foto itu dan tahu: bahwa bangsa ini pernah dijaga oleh mereka yang telah selesai dengan dirinya, dan diam-diam mencintainya lebih dalam dari apa pun yang tampak di layar dan panggung.

Inilah makna terdalam dari judul ini: dua pemimpin, satu meja, satu bangsa. Tidak dibuat-buat, tidak disusun protokol. Hanya ditulis Tuhan di langit, lalu diabadikan oleh mata hati bangsa ini.

Penulis adalah Ketua DPP Partai Golkar dan Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan

Baca Lainnya

Mengubur Reformasi dengan Gelar Kepahlawanan

13 November 2025 - 13:47 WIB

Mengubur Reformasi Dengan Gelar Kepahlawanan

Pahlawan Sejati: Keteladanan Pemimpin Muda Harapan Bangsa

10 November 2025 - 12:23 WIB

Pahlawan Sejati: Keteladanan Pemimpin Muda Harapan Bangsa

Ayep Zaki Bangsa Besar Bukan Hanya Mengenang Perjuangan

29 Oktober 2025 - 13:08 WIB

Sumpah Pemuda: Momentum Kebangkitan Kolektif Tanggal 28 Oktober Selalu Mengingatkan Bangsa Ini Pada Ikrar Sakral Para Pemuda Tahun 1928: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa—Indonesia. Sumpah Pemuda Bukan Sekadar Peristiwa Historis, Tetapi Energi Moral Untuk Terus Memperjuangkan Kemandirian Bangsa. Dulu Perjuangan Dilakukan Dengan Bambu Runcing Dan Pena, Kini Perjuangan Itu Menuntut Transformasi Ekonomi, Kemandirian Finansial, Dan Keadilan Sosial. Spirit Sumpah Pemuda Hari Ini Harus Diterjemahkan Ke Dalam Gerakan Ekonomi Umat Yang Kuat Dan Berkelanjutan. Salah Satu Instrumen Strategis Yang Sesuai Dengan Nilai Keikhlasan, Gotong Royong, Dan Keadilan Sosial Adalah Wakaf Uang. *Wakaf Uang: Instrumen Kemandirian Ekonomi Umat* Wakaf Uang Bukan Sekadar Ibadah Sosial, Melainkan _Financial Instrument_ Yang Mampu Menciptakan Keberlanjutan Ekonomi Berbasis Nilai. Dengan Regulasi Yang Jelas Melalui Uu No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pp No. 42 Tahun 2006, Dan Dukungan Peraturan Bwi Dan Dsn-Mui, Wakaf Uang Kini Bisa Dikelola Secara Profesional, Transparan, Dan Produktif. Setiap Rupiah Wakaf Uang Memiliki Kekuatan Mengganda: Abadi Dalam Nilai, Produktif Dalam Manfaat. Ketika Dikelola Dengan Prinsip Wakaf Produktif, Dana Ini Dapat Diinvestasikan Ke Instrumen Syariah Seperti Sukuk Negara, Sukuk Korporasi, Cwls (Cash Waqf Linked Sukuk), Cwld (Cash Waqf Linked Deposit), Atau Sektor Riil Yang Menumbuhkan Pelaku Usaha Mikro. Keuntungan Hasil Pengelolaan Disalurkan Kembali Untuk Pemberdayaan Sosial, Pendidikan, Kesehatan, Dan Umk Tanpa Mengurangi Pokoknya. *Dari Idealisme Pemuda Ke Gerakan Ekonomi* Pemuda Hari Ini Tidak Hanya Ditantang Untuk Bersumpah Tentang Identitas, Tetapi Juga Untuk Berikrar Atas Kemandirian Ekonomi Bangsanya Sendiri. Melalui Gerakan Wakaf Uang, Pemuda Dapat Berperan Sebagai Penggerak Transformasi Finansial Yang Berlandaskan Nilai Spiritual. Bayangkan Jika Satu Juta Pemuda Indonesia Mewakafkan Rp100.000 Saja Setiap Bulan. Maka Akan Terkumpul Dana Abadi Rp100 Miliar Per Bulan—Sebuah Dana Kedaulatan Ekonomi Umat Yang Dapat Menghidupi Ribuan Umk Melalui Skema Qardhul Hasan, Membantu Pesantren, Membantu Kaum Dhu'Afa, Dan Memperkuat Ketahanan Sosial Masyarakat. Inilah Bentuk Baru “Sumpah Pemuda Ekonomi”: Satu Visi Kesejahteraan, Satu Semangat Kemandirian, Satu Aksi Wakaf Produktif. *Menanam Abadi, Menuai Berkah Tanpa Henti* Dalam Konsep Ekonomi Wakaf, _Giving Never Ends_. Nilai Kebaikan Terus Berputar, Menciptakan Rantai Keberkahan Yang Tidak Terputus. Wakaf Uang Adalah Jihad Ekonomi Yang Menjadikan Setiap Pemuda Bukan Sekadar Konsumen Global, Tetapi Produsen Kebaikan. Momentum Hari Sumpah Pemuda Harus Menjadi Titik Balik Untuk Mengubah Paradigma: Dari _Charity-Based Movement_ Menuju _Investment-Based Philanthropy_. Gerakan Ini Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Membangun Sistem Ekonomi Yang Berkeadilan Dan Berkelanjutan. *Wakaf Uang* Adalah Jembatan Antara Iman Dan Pembangunan, Antara Spiritualitas Dan Kemandirian Nasional. Jika Sumpah Pemuda 1928 Melahirkan Indonesia Merdeka, Maka Sumpah Pemuda Ekonomi Melalui Wakaf Uang Akan Melahirkan Indonesia Berdaulat Dan Makmur. “Bangsa Yang Besar Bukan Hanya Yang Mengenang Perjuangan, Tetapi Yang Melanjutkan Perjuangan Dengan Cara Yang Relevan Di Zamannya.”
Trending di Opini