Teropongistana Jakarta — Hujan deras kembali turun pada Senin sore dan, seperti sudah dijadwalkan dalam kalender budaya tahunan, banjir kembali menyapa warga Jalan Raya Lenteng Agung, RT 001/002 Kelurahan Pasar Minggu.
Genangan air setinggi lutut orang dewasa itu hadir tepat waktu, seolah menunjukkan bahwa ada yang masih lebih konsisten daripada pelayanan publik: ya, banjir Jakarta.
Warga yang sudah akrab dengan “program rutin” ini tampak tak terlalu kaget. “Kami sih sudah hafal, setiap hujan deras pasti banjir. Saluran air sudah mampet sejak era sebelum ojek online berjaya,” ujar salah satu warga, yang memilih tak disebutkan namanya, mungkin karena takut saluran airnya malah makin tidak disebut dalam rapat dinas.
Selain membuat jalan raya macet total, banjir juga menguji kemampuan para pengendara motor dalam olahraga ekstrem ‘menembus genangan sambil berdoa mesin tidak mati’. Banyak yang akhirnya menyerah dan memutar balik, mengakui bahwa air setinggi itu lebih kuat dari motivasi pulang cepat.
Sumber masalah sebenarnya sudah diketahui bersama: saluran drainase tak berfungsi, sampah menumpuk, perawatan minim—sebuah trilogi klasik yang sudah berkali-kali diputar, tapi tetap laris manis tanpa sekuel solusi.
Pemkot Jakarta Selatan pun, sesuai tradisi tahunan, kembali dinilai kurang responsif. Hingga berita ini diturunkan, belum terlihat tanda-tanda kehadiran petugas, kecuali rumor bahwa mereka mungkin sedang dalam perjalanan… dari tahun lalu.
Warga berharap pemerintah setempat berkenan mengubah ritual banjir ini dari “warisan budaya tak berwujud” menjadi “kenangan masa lalu”. Normalisasi saluran air dan solusi jangka panjang sangat dinantikan—meskipun untuk saat ini, warga hanya bisa bertanya-tanya: mana yang duluan selesai, drainase Pasar Minggu atau saga pembangunan IKN?
Sementara itu, banjir tetap mengalir, pemerintah tetap sibuk, dan warga tetap menunggu—sebuah harmoni urban yang hanya Jakarta bisa ciptakan.















