Menu

Mode Gelap
Padeli Tanpa Rompi Oranye, DPP NCW Curiga: Kejagung Lindungi Pemeras Kekuasaan Padeli Ditangkap Kejagung, Kuasa Hukum: Kriminalisasi BAZNAS Enrekang Kini Terbukti Terang Siswa di Lebak Muntah Usai Minum Susu MBG, Diduga Kadaluwarsa Forum Kelompok Wanita Tani Ciamis Peringati Hari Ibu Ke-97 Anggota DPRD Soroti Proyek Lapdek Senilai Rp650 Juta di Kota Sukabumi Bulog Lebak dan Pandeglang Ungkap Ketersediaan Pangan Aman Saat Nataru

Megapolitan

Kebijakan PP Nomor 49 tahun 2025 Tentang Pengupahan Jadi Polemik di Kalangan Buruh


Ilustrasi Buruh menuntut Hak nya Perbesar

Ilustrasi Buruh menuntut Hak nya

Teropongistana.com Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini digadang-gadang sebagai langkah maju untuk menyeimbangkan kepentingan pekerja dan pengusaha, dengan perubahan utama seperti memperlebar rentang indeks alfa dari 0,1-0,3 menjadi 0,5-0,9 dalam formula penetapan upah minimum (inflasi + pertumbuhan ekonomi × alfa), serta kewajiban gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP).

“Selain itu, PP ini menegaskan bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun, sementara perusahaan wajib menyusun struktur upah berbasis kinerja, jabatan, pendidikan, dan kompetensi,” kata Sekjen Konfederasi Barisan Buruh Indonesia (KBBI) Musrianto, Sabtu (19/12/2025)

Namun, kata Musri sapaan Musrianto di balik perubahan-perubahan ini, terdapat kelemahan mendasar yang patut dikritisi: ketidakmampuan regulasi ini dalam memasukkan komponen beban keluarga sebagai bagian integral dari formula pengupahan. Hal ini, kata Musri bukan hanya kelalaian teknis, melainkan kegagalan sistemik yang memperburuk ketimpangan sosial dan mengabaikan realitas kehidupan mayoritas pekerja Indonesia.

1. Ketergantungan pada KHL yang Usang dan Tidak Inklusif
Dasar penetapan upah minimum dalam PP 49/2025 tetap mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang didefinisikan sebagai standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL ini mencakup sekitar 60 komponen, mulai dari pangan, sandang, perumahan, hingga rekreasi dan tabungan, tetapi semuanya dihitung hanya untuk individu tunggal—bukan untuk keluarga.

Meskipun PP baru ini mewajibkan dewan pengupahan daerah untuk mempertimbangkan perbandingan upah minimum dengan KHL dalam menentukan nilai alfa, tidak ada penambahan eksplisit untuk faktor beban tanggungan seperti pasangan atau anak. Ini berarti formula pengupahan tetap “buta” terhadap realitas demografis Indonesia, di mana mayoritas pekerja di sektor padat karya seperti manufaktur, garmen, tekstil, sepatu, perkebunan atau pertanian sudah berkeluarga dan harus menanggung biaya pendidikan anak, kesehatan keluarga, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga pekerja di Indonesia terdiri dari 3-4 orang, dengan biaya hidup riil yang bisa mencapai 2-3 kali lipat dari KHL lajang. Misalnya, di DKI Jakarta, KHL lajang sekitar Rp5,4-5,9 juta, tapi untuk keluarga dengan dua anak, estimasi biaya hidup layak mencapai Rp10-15 juta per bulan—termasuk sewa rumah, pendidikan, dan kesehatan. Dengan UMP 2025 yang hanya Rp5,4 juta di Jakarta, pekerja berkeluarga dipaksa untuk lembur berlebih, pinjam utang, atau bahkan mengorbankan nutrisi anak, yang pada akhirnya memperburuk siklus kemiskinan. PP 49/2025 gagal mereformasi ini, sehingga upah minimum lebih mirip “jaring pengaman sementara” daripada instrumen keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

2. Dampak Ekonomi dan Sosial yang Diabaikan
Pengabaian komponen keluarga dalam formula pengupahan bukan hanya masalah kesejahteraan individu, tapi juga ancaman bagi stabilitas ekonomi nasional yang justru menjadi tujuan PP ini.

Serikat buruh seperti Konfederasi Barisan Buruh Indonesia (KBBI) telah menolak aturan ini karena tidak transparan dan tidak berpihak pada pekerja, dengan tuntutan bahwa isi lengkap PP tidak pernah dibuka untuk diskusi publik sebelum penandatanganan.

Akibatnya, disparitas upah antar daerah tetap ada, dan relokasi pabrik ke wilayah upah murah seperti Jawa Tengah terus berlanjut, sementara pekerja di daerah mahal seperti Bekasi atau Karawang semakin tertekan.
Lebih parah lagi, pendekatan ini menciptakan trade-off yang tidak seimbang antara perlindungan pekerja dan pertumbuhan industri.

Pengusaha memang diuntungkan dengan fleksibilitas biaya produksi, tapi pekerja—khususnya perempuan yang sering jadi tulang punggung keluarga—menanggung beban ganda. Studi dari LSM seperti Akatiga menunjukkan bahwa pengupahan yang tidak memadai berpotensi melanggar prinsip keadilan sosial dan bertentangan dengan tujuan hukum ketenagakerjaan.

Di tengah inflasi yang naik (termasuk dampak PPN 12%) dan biaya pendidikan yang melonjak, upah minimum tanpa komponen keluarga hanya memperlemah daya beli masyarakat bawah, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ini ironis, karena PP 49/2025 justru mengklaim ingin menjaga “keberlanjutan usaha dan stabilitas ekonomi nasional.”

3. Kurangnya Inovasi dan Ketidakpekaan terhadap Standar Internasional
PP 49/2025 seharusnya menjadi momentum untuk reformasi holistik, tapi malah terjebak pada penyesuaian mekanis seperti alfa dan UMSP/UMSK. Banyak negara maju seperti Brasil atau Afrika Selatan telah mengintegrasikan faktor keluarga ke dalam kebijakan upah minimum, melalui tunjangan anak wajib atau pengali KHL berdasarkan ukuran rumah tangga.

Di Indonesia, usulan serupa dari serikat buruh—seperti menambahkan variabel “beban tanggungan” ke formula—telah berulang kali diabaikan. Ini menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang menekankan upah minimum harus mencakup kebutuhan keluarga untuk mencegah eksploitasi tenaga kerja.

Kritik ini semakin relevan mengingat konteks demografi Indonesia: populasi usia kerja yang besar, tapi dengan tingkat kemiskinan pekerja yang masih tinggi (sekitar 60% tenaga kerja di sektor informal). Tanpa memasukkan komponen keluarga, PP ini hanya memperpanjang “race to the bottom” di mana upah ditekan demi daya saing global, sementara kesejahteraan manusia dikorbankan.

Kesimpulan: Butuh Revisi Segera untuk Keadilan Sejati

PP Nomor 49 Tahun 2025 mungkin berhasil mengurangi disparitas upah antar daerah secara bertahap, tapi kegagalannya dalam memasukkan komponen beban keluarga menjadikannya regulasi yang setengah hati dan tidak progresif. Ini bukan hanya kritik dari perspektif buruh, tapi juga dari prinsip keadilan sosial yang menjadi fondasi bangsa. Pemerintah seharusnya segera merevisi aturan ini melalui dialog tripartit yang inklusif, dengan menambahkan faktor keluarga ke KHL—misalnya melalui pengali 2-3 kali untuk rumah tangga standar—atau tunjangan wajib.

Jika tidak, keributan tahunan soal upah akan terus berlanjut, dan visi Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi mimpi bagi segelintir elite, bukan untuk jutaan pekerja yang berkeringat demi keluarganya.

Baca Lainnya

Halo  Pak Gubernur, Biasa…., Ada Banjir Tahunan di Pasar Minggu, Nih! 

2 Desember 2025 - 16:21 WIB

Halo  Pak Gubernur, Biasa...., Ada Banjir Tahunan Di Pasar Minggu, Nih! 

KBBI Dorong RUU PPRT Jadi Undang-undang

21 November 2025 - 19:24 WIB

Kbbi Dorong Ruu Pprt Jadi Undang-Undang

Ribuan Tiket Promo Whoosh Mulai Rp200 000 Momen Hari Pahlawan Telah Terjual

10 November 2025 - 08:30 WIB

Ribuan Tiket Promo Whoosh Mulai Rp200 000 Momen Hari Pahlawan Telah Terjual
Trending di Megapolitan