Sungguh terpuji sekaligus nekad Anies Baswedan merespon tantangan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) untuk kampanye di kampus. Pasalnya ini bertolak dari respon cuitan berbunyi “Yuk, kapan?” kata Anies di akun Twitter pribadinya, Senin kemarin (21/08).
Betapa tidak, jikapun percakapan maya itu terwujud. Ada tiga potensi terlepas itu (negatif-positif) yang membidik sosok pesohor macam Anies. Pertama, berpotensi dipeyorasi. Kita tahu sendirilah ya, kondisi masyarakat yang terbelah-belah akibat cuaca demokrasi yang rongsok alias tak terpelihara dengan baik.
Kedua, difitnah sebagai agenda settingan alias drama. Agree to disagree aja lah ya. Ketiga, berpotensi merawat kecemburuan lawan. Terlalu cerdas memang Anies buat Indonesia. Terutama bagi terwujudnya ruang pentahelix untuk keadilan sosial.
Di lain sisi, juru bicara Anies Baswedan, Surya Tjandra mengaku akan menyambut baik undangan kampanye tersebut. Tentu ini akan menjadi tantangan yang dengan senang hati diterima Pak Anies,” kata Surya Tjandra, saat dihubungi terpisah.
Kami di Tim Anies juga sedang giat menyasar kelompok milenial, dan pekerja muda yang memang rentan sekali situasinya saat ini,” katanya.
“Banyak kelompok mahasiswa mendukung setelah merasakan sentuhan langsung dari Pak Anies,” ucapnya.
Bagi saya sikap optimis Jubir Anies Baswedan ini bisa dimkanai betapa optimisme itu bukan sekadar tercermin via realitas virtual. Ruang aktual adalah kunci bagi semua insan yang merindukan perubahan.
Diketahui, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), BEM UI menantang para bakal calon presiden (Capres) untuk datang ke kampusnya. Mahasiswa jaket kuning ingin mendebat para bakal capres.
“Jika memang punya nyali, BEM UI mengundang semua calon presiden/bakal calon presiden untuk hadir ke UI karena kami siap untuk menguliti semua isi pikiran kalian,” kata Ketua BEM UI Melki Sedek Huang dalam keterangan tertulis berjudul ‘Silakan Datang ke UI Jika Berani!’, sebagaimana yang tim medsos Saksi Demokrasi dapatkan pada Senin (21/8/2023).
Tantangan ini diluncurkan BEM UI menyambut putusan MK yang diketok pada 15 Agustus 2023 lalu. MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h. Konsekuensinya, kampanye di tempat ibadah dilarang total.
Namun, peserta pemilu tetap dapat hadir di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah asalkan tanpa atribut kampanye dan atas undangan pihak yang bertanggung jawab. Menurut BEM UI, ini harus dimanfaatkan maksimal.
“Kebolehan institusi pendidikan untuk mengundang para calon pemimpin harus digunakan untuk menguji substansi dan isi otak tiap calon pemimpin, bukannya jadi ladang cari muka para pimpinan kampus dan ladang main mata kaum intelektual dan politisi saja,” kata Melki Sedek Huang.
Dia merasakan kampanye-kampanye politik dan ucapan-ucapan politikus sudah semakin membosankan saja. Milenial tidak tertarik dengan budaya lip service, yang bahkan disandingkan dengan istilah ‘polusi budaya’ ketika dianggap profan dari sisi bahasa.
Menurut nalar kritis mahasiswa tak hanya itu, selebrasi politik identitas, serta pencitraan politik adalah produk komunikasi yang repetitif di tengah bermacam bentuk dehumanisasi yang terjadi di berbagai lini.
Orang muda dari kalangan mahasiswa UI, menginginkan terjadinya proses adu argumen dengan para Bacapres sebagai bentuk pemaknaan demokrasi yang waras, sebagaimana konsepsi pentahelix dalam berdemokrasi. Iya, terpuji dan nekad memang menyahut kerinduan masyarakat akan suatu perubahan. Boleh jadi berujung baik atau justru lebih baik.
“Kami siap menyampaikan aspirasi kami dan mendebat seluruh argumen kalian jika perlu. Kami tak mau masa depan bangsa ini digantungkan pada calon pemimpin yang hanya berfokus pada kampanye, pencitraan, dan lip service tak bermutu. Kami butuh pemimpin yang cerdas dan berpihak untuk rakyat banyak,” jelas Melki.