Teropongistana.com Palembang – Di tengah hiruk-pikuk akhir tahun, suara para buruh perkebunan kelapa sawit dan karet di Sumatera Selatan (Sumsel) semakin membahana. Konfederasi Barisan Buruh Indonesia (KBBI), di bawah kepemimpinan Ketua Umum Karmanto, SH.MH, melancarkan tuntutan tegas untuk kenaikan upah yang lebih adil pada 2026.
Mereka menolak mentah-mentah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumsel yang baru saja disahkan Gubernur Herman Deru sebesar Rp 3.942.963 naik hanya 7,1% dari tahun sebelumnya karena dianggap masih jauh dari kebutuhan hidup layak, terutama bagi buruh yang bergulat dengan eksploitasi surplus value di sektor perkebunan.
“Sumsel, sebagai salah satu lumbung perkebunan terbesar di Indonesia, mengandalkan sawit dan karet sebagai penyumbang utama ekonomi daerah. Produksi CPO sawit di provinsi ini diproyeksikan mencapai 4,2-4,5 juta ton pada 2026, sementara karet menyumbang ribuan hektare lahan dengan ekspor yang signifikan.” ujar Ketua Umum KBBI, Karmanto, dalam keterangan resminya, Minggu (21/12/2025).
Menurutnya di balik gemerlap devisa, buruh perkebunan mayoritas harian lepas masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Upah rendah, sistem borongan paksa, paparan bahan kimia beracun tanpa perlindungan, dan beban keluarga yang berat membuat hidup mereka seperti neraka di tengah kebun hijau.
Karmanto menegaskan bahwa tuntutan KBBI bukan sekadar angka, melainkan perjuangan kelas untuk merebut kembali surplus value yang selama ini dirampas kapitalis.
“Buruh sawit dan karet di Sumsel menciptakan kekayaan triliunan rupiah setiap tahun, tapi upah mereka tak cukup untuk makan bergizi, sekolah anak, atau obat-obatan. Ini penghinaan!” seru Karmanto
Berdasarkan perhitungan internal KBBI yang mempertimbangkan nilai produksi sektor, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) riil termasuk beban keluarga seperti pendidikan dan kesehatan.
Berikut Tuntutan Spesifik KBBI untuk Upah di Sektor Perkebunan Sumsel 2026:
1. Upah Minimum Sektoral (UMSK) untuk Sawit dan Karet, Minimal Rp 4,4 juta per bulan, naik sekitar 15-20% dari upah saat ini. Angka ini dihitung dari pembagian adil surplus value: Dari nilai produksi sawit Rp 61-65 triliun di Sumsel, buruh layak dapat bagian lebih besar setelah dikurangi biaya non-upah (sekitar 50%). Untuk karet, yang sering digabung dalam sektor perkebunan, tuntutan serupa karena kondisi kerja mirip upah borongan rendah dan risiko kesehatan tinggi akibat getah dan pestisida.
2. Penyesuaian dengan Beban Keluarga, Upah harus ditingkatkan lebih lanjut untuk buruh berkeluarga (2-4 anak), mencakup subsidi pendidikan dan kesehatan. KBBI menolak UMP umum yang tak spesifik sektor, karena buruh perkebunan sering di bawah UMP akibat kontrak lepas.
3. Kenaikan Berbasis KHL Riil, Dorong kenaikan 8-10% di atas UMP, menuju Rp 4,2 juta sebagai langkah awal, sesuai tuntutan buruh Sumsel lainnya. Ini lebih tinggi dari usulan pemerintah (7,1%) yang dianggap “kenaikan semu” karena tak mengimbangi inflasi dan biaya hidup naik.
4. Pendukung Lain, Buat dan sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan (RUPBS) untuk atur keselamatan kerja (K3), larang buruh anak, dan hak berserikat.
5. Audit independen terhadap perusahaan sawit dan karet untuk pastikan patuh UMSK, termasuk perlindungan BPJS melalui Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit.
6. Hapus praktik pemberangusan serikat dan PHK sepihak, yang sering terjadi di perkebunan karet di wilayah seperti Musi Rawas atau Ogan Komering Ilir.
“Untuk buruh sawit dengan anak sekolah, Rp 4,4 juta itu minimal agar tak lagi paksa anak ikut kerja di kebun, Ini perjuangan hidup mati untuk buruh dan keluarga mereka. Surplus value yang kita ciptakan harus kembali ke kita, bukan ke kantong pengusaha!” tegas Karmanto.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebut tuntutan ini tidak sesuai ekspektasi pelaku usaha dan menekankan upah sebagai jaring pengaman, bukan beban bisnis.
Namun, bagi buruh seperti seorang pekerja karet di Sumsel yang enggan disebut namanya mengatakan upah Rp 3,9 juta itu mimpi buruk
“Anak saya putus sekolah karena tak ada biaya. Kapan keadilan datang?” ucapnya
Perjuangan ini mencerminkan konflik kelas yang lebih luas di sektor perkebunan Indonesia.















