Teropongistana.com Jakarta — Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyoroti tajam keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada 122 orang penerima. Menurutnya, langkah tersebut sarat subjektivitas dan bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Pasal 2 UU itu menegaskan asas kemanusiaan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, dan keterbukaan. Namun penganugerahan tahun ini jelas mengabaikan asas-asas tersebut,” kata Hendardi dalam keterangan persnya, Kamis (28/8).
Ia menilai, ada sejumlah alasan mengapa penganugerahan tersebut harus ditolak. Pertama, terdapat figur yang disebut terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, seperti Wiranto yang dikaitkan dengan Tragedi 1998 dan peristiwa Timor Leste.
Kedua, penghargaan juga diberikan kepada eks narapidana korupsi, antara lain mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, yang menurutnya tidak layak menerima tanda kehormatan setinggi itu.
Ketiga, Hendardi mengkritik keputusan Presiden yang turut memberi penghargaan kepada para pembantu kabinet, mulai dari Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia. “Publik mempertanyakan apa jasa para menteri baru tersebut. Integritas mereka bahkan masih dipertanyakan, dan beberapa nama disebut dalam kasus korupsi,” tegasnya.
Keempat, ia menyoroti luasnya penolakan publik. Akademisi, intelektual, dan aktivis sipil sama-sama meragukan integritas maupun rekam jejak penerima penghargaan. Hal ini, menurut Hendardi, menunjukkan proses profiling tidak transparan dan tidak melibatkan publik.
“Proses yang serampangan ini bukan hanya merusak kredibilitas Bintang Mahaputera, tapi juga bisa jadi preseden buruk bagi pemerintahan ke depan. Presiden memang sulit diharapkan untuk membatalkan, tetapi publik harus mengingatkan bahwa setiap tindakan negara harus tunduk pada hukum. Mengabaikan aturan adalah bentuk pelanggaran serius atas sumpah jabatan Presiden,” pungkasnya.