Menu

Mode Gelap
Menteri PKP dan Jaksa Agung Kolaborasi Basmi Praktik Korupsi di Sektor Perumahan APSP Demo Astra Agro dan Kejagung: Hentikan Kriminalisasi, Usut Mega Korupsi Sawit Konsep Dapur Sekolah Utamakan Masyarakat Lokal Meminimalisir Konglomerasi MBG Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Pemkot Sukabumi Bentuk Satgas MBG, Antisipasi Kasus Keracunan Massal Kejagung Diminta Periksa Petinggi PT PLM, PLN, dan AABI Terkait Dugaan Korupsi Tambang Emas di Bombana

Opini

Jalan Sunyi Menuju Kemunduran


Oleh : Mohamad Rohim Perbesar

Oleh : Mohamad Rohim

Tidak ada hal yang lebih terhormat selain berbicara benar.

Banten | Sejarah kebebasan berbicara lahir dari perlawanan terhadap penindasan. Dunia mencatatnya dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (1789) di Prancis dan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat (1791).

Di Indonesia, perjuangan itu mulai sejak kemerdekaan dan menemukan momentum besar pasca-Reformasi 1998. Namun, hingga kini jalan menuju kebebasan penuh selalu dibayangi ancaman: kriminalisasi lewat undang-undang, sensor halus lewat algoritma, dan tekanan kekuasaan yang tak pernah benar-benar reda.

Ketika media dibungkam dengan tangan besi penguasa, yang dikorbankan bukan sekadar kebebasan pers. Yang hilang adalah masa depan bangsa.

Penguasa yang haus kekuasaan, sibuk menumpuk keuntungan pribadi, menjadikan jurnalis target ancaman.

Padahal ancaman itu sejatinya ditujukan untuk membungkam suara rakyat.

Generasi bangsa dipaksa kehilangan imajinasi. Perbedaan diperlakukan sebagai dosa. Keberagaman dianggap sampah.

Padahal justru perbedaanlah yang menjadi warna demokrasi.

Kini kecintaan terhadap bangsa dipagari oleh tembok kekuasaan, dihuni orang-orang rakus yang hanya berpikir soal uang, bukan arah bangsa.

Dinding-dinding tebal itu menahan suara rakyat agar tak sampai ke telinga pemimpinnya.

Bahaya besar sedang berdiri di depan mata: jeritan rakyat, tangisan rakyat, bau keringat rakyat, diputus di tengah jalan.

Suara itu tak lagi masuk ke ruang kepemimpinan, tapi berhenti di kantong para lingkaran bisnis dan kepentingan. Kekecewaan rakyat pun menumpuk tanpa ujung.

Itulah tanda kemunduran. Demokrasi mati perlahan ketika pers dijerat, ketika suara publik diputus oleh kekuasaan yang menjadikan negara sebagai bisnis keluarga. Tanpa pers yang bebas, tak ada bangsa yang cerdas. Tanpa pers yang bebas, tak ada bangsa yang adil.

Dan tanpa pers yang bebas, tak akan pernah ada bangsa yang benar-benar maju.

Baca Lainnya

Menteri PKP dan Jaksa Agung Kolaborasi Basmi Praktik Korupsi di Sektor Perumahan

26 September 2025 - 12:02 WIB

Menteri Pkp Dan Jaksa Agung Kolaborasi Basmi Praktik Korupsi Di Sektor Perumahan

Politisi Pengangguran Jadi Ketua Dewas PAM Jaya, CBA Sebut Balas Jasa

5 Agustus 2025 - 17:59 WIB

Politisi Pengangguran Jadi Ketua Dewas Pam Jaya, Cba Sebut Balas Jasa

Jerry Masie Ungkap One Piece Bagian Makar

4 Agustus 2025 - 22:23 WIB

Jerry Masie Ungkap One Piece Bagian Makar
Trending di Opini