Teropongistana.com Jakarta – Para pakar politik menyatakan bahwa pilkada langsung adalah kemunduran demokrasi. Hal itu dinyatakan oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Insan Praditya Anugrah.
Pengamat komunikasi politik, Erik Ardiyanto menilai wacana penerapan pilkada tidak langsung sebagai sinyal kemunduran demokrasi lokal di Indonesia. Menurutnya, mekanisme tersebut berpotensi menghilangkan esensi utama demokrasi, yakni kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin di tingkat daerah.
“Pilkada tidak langsung adalah kemandirian demokrasi karena berisiko memutus hubungan politik antara rakyat dan kepala daerah. Ketika hak memilih dicabut dari warga, legitimasi kepemimpinan menjadi lemah karena tidak lahir dari mandat langsung publik,” ujar Erik, Kamis (25/12/2025).
Ia menegaskan bahwa alasan efisiensi anggaran maupun stabilitas politik tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengorbankan hak politik warga negara. Dalam perspektif komunikasi politik, pilkada tidak langsung justru memperbesar jarak antara penguasa dan masyarakat serta membuka ruang kompromi elite yang minim transparansi dan akuntabilitas kepada publik.
“Persoalan dalam pilkada langsung seharusnya dijawab melalui perbaikan tata kelola pemilu oleh KPU, penguatan pengawasan dan penegakan hukum oleh Bawaslu, serta pendidikan politik yang lebih serius oleh partai politik, bukan dengan menarik kembali hak dasar rakyat untuk memilih pemimpinnya. Ia juga menekankan bahwa pilkada langsung yang selama ini berjalan telah menjadi ruang lahirnya tokoh-tokoh lokal berlegitimasi kuat yang mampu berkembang hingga tingkat nasional karena dipilih langsung oleh rakyat”, pungkas Erik.
Hal Senada diungkapkan oleh Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah. Ia mengungkapkan bahwa justru Pilkada oleh DPRD mencabut partisipasi politik publik dan berpotensi membuat biaya politik lebih mahal.
“Hal ini jelas kemunduran bagi demokrasi karena mencabut partisipasi politik publik dalam menentukan pemimpinnya. Justru yang harus dibenahi adalah edukasi politik publik soal proses demokrasi dan menghentikan praktek-praktek serangan fajar yang selama ini dilakukan oleh politisi dan partai politik “, kata Insan pada Kamis (25/12/2025).
Insan juga menggungkapkan bahwa pilkada oleh DPRD tidak membuat pilkada lebih murah, malah lobi-lobi elit bisa memungkinkan seorang calon kepala daerah membayar lebih mahal.
“Tidak seperti masyarakat, elit-elit di DPRD dan Partai Politik itu tidak bisa dilobi dengan uang kecil. Bahkan ada kemungkinan para elit ini akan meminta sangat banyak dari calon kepala daerah, bukan hanya uang tapi konsesi-konsesi lain dalam bentuk kebijakan, “pungkas Insan.














