Teropongistana.com SUMENEP – Ketegangan dan konflik horizontal di masyarakat terus menguat akhir-akhir ini. Jelang helatan elektoral Pilkada Serentak 2024 besok, atmosfer politik di daerah begitu mencekam. Praktik-praktik ‘politik brutal’ yang ditandai dengan sejumlah kasus mewarnai, terakhir kasus kekerasan berakibat nyawa di Kabupaten Sampang beberapa waktu lalu.
Demikian disampaikan Ketua Umum Front Pemuda Madura (FPM), Muchlas Samorano, waktu menyampaikan opening speech pada kegiatan Seminar Kebangsaan bertajuk ‘Politik Santun: Upaya Pemuda Merawat Kohesi Sosial Menuju Pilkada 2024 Berintegritas’, Senin (25/11) siang.
Kegiatan yang digelar di Ballroom Lt. 3 Asmi Hotel Sumenep ini menggandeng MPR Madura Raya ini dikemas dalam format dialog interaktif. Hadir pada giat tersebut narasumber antara lain Komisioner Bawaslu Sumenep, Hosnan Hermawan, Kapolres Sumenep yang diwakili Kasat Intelkam Polres Sumenep, Amirul Mukminin, Rusydiyono, Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Sumenep.
Dalam penjelasannya, Ketua Front Pemuda Madura (FPM), Muchlas Samorano, menyebut, Kesbangpol Jawa Timur menempatkan Madura sebagai wilayah dengan titik potensi kerawanan. Empat kabupaten di Madura selalu tampil juara sebagai wilayah yang paling disorot.
“Alih-alih merepresentasikan politik riang gembira, yang subur justru politik menakutkan: kekerasan, agitasi, provokasi, dendam. Praktik politik inilah yang tentu mesti diberangus. Tugas antisipasi ini tentu tidak hanya dilakukan penyelenggara, tetapi juga masyarakat umum, khususnya kalangan pemuda,” kata Muchlas.
“Problemnya, stereotype kekerasan Madura, pelan tapi pasti, diinternalisasi ke dalam kontestasi politik. Akibatnya, praksis politik di Madura belum keluar dari praktik ‘kependekaran’ dengan mengandalkan urat dan pusaka. Pemuda Madura mesti paham situasi sosio-politik ini,” imbuhnya.
Muchlas menilai, persaingan antar kontestan dan pendukung tampak sengit, sehingga politik saling serang sangat kentara selama kampanye berlangsung. Meski dinamika ini lazim dijumpai pada setiap helatan electoral vote, tetapi bagi dia, kompetisi politik tak sehat yang lebih dominan mengandalkan permusuhan dan kekerasan sangatlah berbahaya.
“Kontestasi elektoral, utamanya di Madura, menimbulkan polarisasi ekstrem tidak sekadar di tingkat elit tetapi juga merasuk ke akar rumput, dan bahkan berlangsung cukup lama. Benih-benih perpecahan dan disintegrasi akibat perbedaan pilihan politik telah banyak dijumpai dalam setiap helatan pemilihan di Pulau Garam ini,” terang dia.
“Makanya, pemuda mesti memiliki kepekaan politik untuk terlibat aktif-partisipatif dalam upaya menanggulangi praktik politik memecah-belah. Caranya, melalui penguatan pendidikan dan literasi politik mahasiswa, termasuk sosialisasi politik santun kepada jaringan dan kantong organisasi pemuda,” tambah Muchlas.
Selain itu, Muchlas menambah, masih tingginya angka pemilih emosional dengan mengandalkan politik identitas dan ras, menjadi alasan FPM menggelar kegiatan ilmiah demi menolak polarisasi politik dalam Pilkada Serentak 2024 di Madura.
“FPM bertanggungjawab untuk mendahulukan persaudaraan dan harmonisasi warga ketimbang praktis politik yang tak jarang justru memecah belah. Politik agitasi ini yang mesti diantisipasi pra dan pasca Pilkada,” tutupnya.
Kegiatan Seminar Kebangsaan ini diikuti oleh ratusan peserta dari dalam dan luar kampus di Madura. Setelah sesi dialog, kegiatan dilanjut dengan pembacaan deklarasi pemilu damai yang memuat empat poin komitmen. Deklarasi dipimpin oleh Ketua Umum FPM dan diikuti oleh semua peserta dan stakeholder yang hadir.