Teropongoistana.com Jakarta – Polemik pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) antara Pertamina dan operator stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta kembali memanas. Setelah sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa SPBU swasta seperti Shell, Vivo, bp, dan Exxon Mobil siap membeli stok tambahan dengan skema impor melalui Pertamina, kini muncul penolakan tegas dari seluruh operator swasta.
Penolakan ini dipicu kandungan etanol dalam BBM Pertamina yang dianggap tidak sesuai spesifikasi standar operasional SPBU swasta. BBM tersebut diketahui memiliki kandungan etanol sekitar 3,5 persen.
Direktur Eksekutif Center For Budget Analisis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menilai penolakan ini bukan hanya soal teknis, melainkan juga memalukan secara politis bagi Bahlil Lahadalia.
“Masak Ketua Umum Golkar bisa dipermalukan oleh Dirut Pertamina Simon Aloysius Mantiri. Bisa hancur harga diri Bahlil Lahadalia itu,” sindir Uchok dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Menurut Uchok, kesalahan ada pada langkah Bahlil sendiri yang terburu-buru memaksakan SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina tanpa melakukan pengecekan kualitas terlebih dahulu.
“Kenapa sebelum memaksakan SPBU swasta membeli BBM Pertamina tidak melakukan cek and ricek terhadap kualitas. Itu kan syarat mutlak bagi SPBU swasta sebelum memutuskan kerja sama. Jadi ini salah perhitungan besar dari Bahlil,” jelasnya.
Di sisi lain, Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, membenarkan bahwa kandungan etanol memang terdapat dalam produk Pertamina. Namun menurutnya, hal itu masih sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.
“Kontennya itu ada kandungan etanol. Secara regulasi diperkenankan. Etanol itu sampai jumlah tertentu, kalau tidak salah sampai 20 persen. Sedangkan dalam produk Pertamina hanya 3,5 persen,” ungkap Achmad dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI di Jakarta.
Meski demikian, SPBU swasta menolak karena beranggapan kandungan etanol, sekecil apapun, bisa memengaruhi kualitas dan performa bahan bakar yang mereka jual. Bagi mereka, menjaga kepuasan pelanggan dan kualitas produk menjadi prioritas utama dibanding sekadar memenuhi kewajiban pembelian.
Polemik ini menempatkan Menteri Bahlil Lahadalia dalam posisi sulit. Di satu sisi, ia berupaya mendorong sinergi antara Pertamina dan SPBU swasta untuk mengamankan stok energi nasional. Namun di sisi lain, justru muncul resistensi keras akibat isu kualitas BBM yang diproduksi di bawah kepemimpinan Simon Aloysius Mantiri.
Hingga kini, belum ada titik temu antara pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta terkait mekanisme pembelian BBM tersebut. Namun penolakan kompak dari para operator swasta diprediksi akan semakin memperumit upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas pasokan energi nasional.