Menu

Mode Gelap
Usut Tuntas Fakta Mengejutkan! Pejabat Golkar Sidoarjo Diduga Tipu Ratusan Warga Lewat Proyek Tanah Kavling Prof Dr Ali Mochtar Ngabalin : Keakraban Kedua Tokoh Pertanda Kemajuan Bangsa Transformasi PKB di Usia ke-27: Antara Tantangan Destruktif dan Kepemimpinan Konstruktif Artis Camelia Panduwinata Ucapkan Selamat Hari Anak Nasional 2025, Tekankan Pentingnya Pendidikan dan Teknologi untuk Masa Depan Anak Indonesa Matahukum Ingatkan, Perda Satpol PP Jangan jadi Keleluasaan Palaku Tambang Galian Tanah di Lebak Bongkar Terus, Saksi Terdakwa Charlie Chandra Pastikan Tanah Tersebut Milik The Pit Nio

Opini

Prof Dr Ali Mochtar Ngabalin : Keakraban Kedua Tokoh Pertanda Kemajuan Bangsa


Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin  Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Kirea Selatan, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasiinal. Perbesar

Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin  Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Kirea Selatan, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasiinal.

Teropongistana.com Jakarta – Segala puji bagi Allah yang mempertemukan dua hati yang telah matang oleh ujian dan dipertemukan kembali bukan untuk saling menaklukkan, tapi saling memeluk. Ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa, bukan logika. Dan pertemuan mereka adalah bagian dari itu.

Di sebuah warung kecil di Kota Solo, bukan di istana megah atau ruang sidang yang angkuh, dua jiwa besar bangsa ini memilih duduk berhadapan. Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Bukan dengan seragam formal, bukan dengan protokol yang kaku. Hanya dua sahabat lama yang telah melewati badai panjang, kini duduk dengan tenang, apa adanya, di atas meja kayu sederhana.

Inilah Indonesia yang sejati. Bukan Indonesia yang dibangun atas arogansi kekuasaan atau dendam politik yang berlarut, tapi Indonesia yang mampu memeluk perbedaan dalam keheningan yang penuh kasih dan makna. Sebuah Indonesia yang kita rindukan, yang bersatu dalam diam, dalam saling percaya, dalam keikhlasan.

Saya memandang foto itu dengan hati yang masygul. Ada keharuan yang tak bisa disembunyikan. Karena beginilah seharusnya pemimpin-pemimpin bangsa duduk: bukan untuk membuktikan siapa yang paling hebat, tapi untuk memikirkan bagaimana bangsa ini bisa menjadi lebih baik.

Mereka telah selesai dengan ego. Mereka telah dewasa dengan luka dan pilihan. Yang tersisa kini hanyalah tanggung jawab, dan cinta, pada negeri yang mereka cintai. Saya yakin, mereka tidak hanya duduk sebagai tokoh publik, tapi sebagai ayah, sebagai sahabat, sebagai anak bangsa yang ingin menuntaskan satu tanggung jawab terakhir: memastikan Indonesia berada di tangan yang saling percaya.

Kesederhanaan adalah kekuatan yang tak bisa dipalsukan. Socrates pernah berkata bahwa manusia yang paling bijak adalah yang tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa. Dan di meja warung itu, dua pemimpin besar tampak melepaskan topeng kekuasaan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Dua anak bangsa yang duduk, mendengar, berbagi, dan merenung, bukan demi kekuasaan, tapi demi masa depan yang akan mereka wariskan.

Dan mereka tidak sendiri. Hadir empat sosok penting yang menyaksikan momen langka itu: Angga Raka Prabowo (Wakil Menteri Kominfo), Sugiono (Menteri Luar Negeri), Prasetyo Hadi (Menteri Sekretaris Negara), dan Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, ajudan setia Pak Jokowi yang tetap mendampingi, bahkan saat masa jabatan telah berakhir.

Mereka hadir bukan sebagai pelengkap. Mereka adalah representasi nyata dari kesetiaan, dedikasi, dan panggilan hati untuk bangsa ini. Mereka bukan pejabat yang sekadar mengejar kursi, tapi manusia-manusia yang paham bahwa melayani bukanlah proyek, melainkan tugas suci. Mereka duduk bukan untuk difoto, tapi sebagai saksi bahwa transisi ini dilandasi ketulusan dan kehormatan.

Dan kemudian, gestur paling sederhana sekaligus paling bermakna: Pak Jokowi mengantar Pak Prabowo hingga ke Bandara Solo. Tanpa rombongan besar. Tanpa kamera yang menguntit. Hanya seorang sahabat yang mengantar sahabatnya pulang, dengan hormat dan ketulusan. Itulah kekuasaan sejati, yang tidak ditunjukkan lewat simbol, tapi lewat kerendahan hati dan kesetiaan hingga akhir.

Inilah pelajaran besar bagi kita semua, bahwa bangsa ini tidak akan maju karena hebatnya satu orang, tapi karena kemauan kita untuk bersatu melampaui perbedaan. Kita tidak akan kuat karena bisa mengalahkan lawan politik, tapi karena mampu mengubah lawan menjadi mitra dalam membangun masa depan bersama.

Indonesia tidak butuh superhero. Yang kita butuhkan adalah pemimpin-pemimpin yang sudah tuntas dengan ambisi pribadinya, sehingga bisa fokus pada ambisi kolektif sebagai bangsa. Pemimpin yang tidak bertanya, “Apa yang bisa saya ambil dari bangsa ini?” tapi “Apa yang bisa saya persembahkan?”

Dari warung sederhana di Solo itu, kita belajar satu hal: harapan baru tak selalu lahir dari podium atau ruang sidang. Kadang ia tumbuh dari meja kayu kecil, dari gelas teh hangat, dari tawa yang jujur, dan dari persahabatan yang dipertemukan kembali oleh takdir yang luhur. Di sela toples kerupuk dan gelas teh yang mengembun, dua sahabat itu berbicara pelan… seperti dua ayah bangsa yang tahu waktunya tak panjang, tapi harapannya masih dalam.

Tuhan memang Maha Bijaksana. Ia tidak mengutus malaikat untuk memimpin bangsa ini. Ia mengutus manusia. Manusia-manusia yang pernah kalah, pernah salah, pernah diuji. Tapi justru karena itu mereka menjadi kuat, dan memilih untuk mengabdi pada sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri

Dua pemimpin. Satu meja. Satu bangsa.

Dan dari kesederhanaan itu, kita mengerti: Indonesia bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan digunakan untuk memeluk seluruh anak bangsa dalam kasih sayang yang tulus.

Mari kita jadikan momen ini sebagai cermin. Di tengah hiruk-pikuk politik yang sering membuat kita lupa arah, masih ada ruang untuk duduk bersama dan memilih persatuan. Inilah Indonesia yang tidak dibangun dari kemarahan, tapi dari cinta. Dan semoga anak-anak kita kelak membaca foto itu dan tahu: bahwa bangsa ini pernah dijaga oleh mereka yang telah selesai dengan dirinya, dan diam-diam mencintainya lebih dalam dari apa pun yang tampak di layar dan panggung.

Inilah makna terdalam dari judul ini: dua pemimpin, satu meja, satu bangsa. Tidak dibuat-buat, tidak disusun protokol. Hanya ditulis Tuhan di langit, lalu diabadikan oleh mata hati bangsa ini.

Penulis adalah Ketua DPP Partai Golkar dan Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan

Baca Lainnya

Prof Ali Mochtar Ngabalin : Israel Tiada Hari Tanpa Membunuh

7 Juli 2025 - 19:35 WIB

Prof Ali Mochtar Ngabalin : Israel Tiada Hari Tanpa Membunuh

Ganti Menteri-Ganti Kurikulum dan Independensi Pendidikan

30 Mei 2025 - 19:16 WIB

Ganti Menteri-Ganti Kurikulum Dan Independensi Pendidikan

Perang Dagang, China Diprediksi Tumbang Oleh Amerika

17 April 2025 - 11:00 WIB

Perang Dagang, China Diprediksi Tumbang Oleh Amerika
Trending di Opini