Teropongistana.com Jakarta – Dalam satu dekade terakhir, tepatnya sejak 2014, Indonesia telah mengalami fenomena Asymmetric Warfare Non-Military Engagement yang semakin nyata dan mengkhawatirkan. Istilah asymmetric warfare—yang merupakan antitesis dari perang tradisional—mengacu pada bentuk peperangan yang tidak melibatkan kekuatan militer dan senjata, melainkan menggunakan berbagai instrumen non-militer untuk melemahkan bahkan menghancurkan kedaulatan negara.
Fragmen-fragmen politik dari perang asimetris ini telah menghantam sejumlah negara, terutama di kawasan Timur Tengah. Di sana, sistem politik dan seluruh instrumen kekuatan negara porak poranda. Kegagalan mereka dalam mengantisipasi perang asimetris banyak disebabkan oleh lemahnya fungsi intelijen, terutama dalam mencegah apa yang disebut sebagai pendadakan strategis (strategic surprise).
Kondisi tersebut diperparah dengan kehadiran aktor-aktor intelektual proxy non-negara dari dalam negeri yang bekerja untuk kepentingan luar. Di Indonesia, sejak era reformasi 1998, aktor-aktor intelijen tidak lagi dibekali kerangka berpikir Negative Denken—cara berpikir yang sangat esensial dalam menghadapi dinamika asimetris.
Urgensi “Negative Denken” dalam Strategi Intelijen
“Negative Denken” adalah metode berpikir dan bertindak dengan membalik cara pandang normal terhadap situasi. Ia mengasumsikan bahwa situasi keamanan negara tidak sedang baik-baik saja. Berpikir dalam kerangka ini mendorong kewaspadaan terhadap berbagai potensi ancaman, seperti:
-Kudeta konstitusi
-Pelibasan demokrasi
-Ketidakadilan sistemik
-Represi politik
-Dominasi mafia dalam berbagai sektor
-Penindasan berbasis SARA, gender, dan agraria
-Campur tangan asing dalam sektor politik, ekonomi, pertahanan, dan bisnis
-Kekerasan dan vandalisme politik
-Perampasan kebebasan sipil
-Teror dan intimidasi
-Kelaparan, kemiskinan, dan kekacauan sosial
-Perpecahan politik berkelanjutan
Puncak dari semua potensi tersebut adalah terjadinya pendadakan strategis—sebuah kejutan besar yang dapat melumpuhkan pertahanan negara dari dalam.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar elemen dari Negative Denken tersebut sudah terjadi di Indonesia, namun belum disikapi secara serius oleh aktor-aktor negara, khususnya aparat keamanan. Karena itulah, pola pikir Negative Denken harus dihidupkan kembali sebagai pondasi analisis strategis bagi komunitas intelijen dalam menghadapi ancaman asimetris.
Ancaman Non-Militer yang Menggerogoti Negara
Setidaknya terdapat dua bentuk ancaman non-militer yang kian nyata dan sistematis di Indonesia:
1.Blok Asosiasi Ekonomi Negara
2.Jaringan Narkotika Internasional
Jaringan narkotika telah merusak masa depan generasi muda. Nilai kerugian negara akibat perdagangan dan penyalahgunaan narkoba pada 2004 mencapai Rp23,6 triliun, dan meningkat menjadi Rp32,4 triliun di tahun-tahun berikutnya. Angka tersebut diyakini hanya puncak gunung es dari masalah narkoba yang jauh lebih besar dan kompleks.
Di sisi lain, kejahatan sektor keuangan lebih memprihatinkan lagi karena melibatkan aktor-aktor keamanan dan kerap dianggap “biasa saja”. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan dan penegak hukum terus menurun. Kasus-kasus korupsi di sektor ini terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Deputi Investigasi BPKP, Agustina Arumsari, bahkan menyatakan bahwa korupsi di sektor pertambangan—khususnya tambang timah—menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun. Jika kejahatan ini dapat dihentikan, setiap warga Indonesia bisa menerima insentif sebesar Rp30 juta per bulan.
Kedua sektor ini—narkotika dan kejahatan keuangan—adalah bentuk nyata dari perang asimetris dan menjadi bukti bahwa aktor-aktor intelijen telah gagal mencegah terjadinya pendadakan strategis.
Kredibilitas Intelijen Dipertaruhkan
Dua kasus besar yang belakangan ini menyita perhatian publik—lolosnya koruptor Pertamina, Reza Khalid, dan skandal ijazah palsu—semakin menegaskan krisis sistemik. Kasus ijazah palsu bahkan sudah dilaporkan ke Amnesty International dan diajukan ke Pengadilan HAM Internasional di Den Haag, Belanda, karena penegakan hukum nasional dinilai tidak mampu menyelesaikannya secara tuntas.
Dalam kasus ini, intelijen seharusnya berperan aktif: menghimpun, memverifikasi, dan menyajikan informasi faktual yang dapat diuji secara hukum. Kredibilitas lembaga intelijen saat ini benar-benar dipertaruhkan.
Perang asimetris sudah hadir di halaman depan rumah kita. Ia tidak datang dengan senjata, tapi membawa disinformasi, korupsi, narkotika, pelemahan lembaga, dan infiltrasi asing.
Jika pola pikir Negative Denken tidak dikembalikan ke tubuh intelijen, maka pendadakan strategis hanyalah soal waktu. Waspada tidak cukup. Kita butuh intelijen yang eling, cermat, dan berani bertindak.
Oleh: Muhammad Johansyah, M.Eng, MA, Marsekal Pertama TNI (Purn) – Analis Intelijen, Politik, dan Keamanan Internasional















