Teropongistana.com Jakarta – Universitas Paramadina bersama Paramadina Public Policy Institute menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Menguji Ketahanan Demokrasi di Tengah Belitan Populisme, Oligarki, dan Ketidakpastian Ekonomi Politik”. Kegiatan ini menghadirkan Ahmad Khoirul Umam, Ph.D. (Direktur Paramadina Public Policy Institute), Prof. Firman Noor, Ph.D. (Peneliti Pusat Riset BRIN), Budiman Tanurejo (Jurnalis Senior), dan Titi Angreani (Pakar Pemilu dan Demokrasi, Dosen HTN FHUI) yang bersama-sama mengkritisi arah perjalanan demokrasi Indonesia pasca Pemilu 202.
Dalam paparannya, Khoirul Umam menekankan bahwa demokrasi Indonesia kini masuk kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Berdasarkan laporan The Economist, civil liberty, governance function, dan political culture mengalami pelemahan, sementara kecenderungan otoritarian semakin menguat.
“Demokrasi kita tidak sepenuhnya buruk, tetapi jelas belum cukup baik. Banyak perbaikan mendesak, mulai dari arsitektur pemilu hingga reformasi institusi keamanan,” ujarnya, Rabu (24/9/2025)
Dia juga menambahkan bahwa Gerakan Rakyat Agustus menjadi wake up call untuk meninjau ulang jadwal pemilu, model pemilu, dan putusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas pencalonan presiden.
Sementara itu, Firman Nur menyoroti gejala stagnasi demokrasi Indonesia. Ia menegaskan bahwa pemilu kita tampak kompetitif, tetapi masih sarat manipulasi, money politics, serta intervensi kekuasaan.
“Oposisi absen di parlemen, hukum dijalankan untuk kepentingan rezim, dan partai politik gagal menjalankan kaderisasi. Kondisi ini membuat publik makin apatis, sementara oligarki semakin dominan. Ia menekankan pula bahayanya tirani minoritas, yakni kekuasaan elite yang menyebabkan korupsi, nepotisme, dan konsentrasi sumber daya hanya pada segelintir orang.
Dari perspektif media, Budiman Tanurejo mantan pamred Kompas menilai jurnalisme tengah menghadapi tantangan besar di era platformocracy dan populisme. Negara terlalu kuat mengontrol regulasi, sementara media sosial mengarahkan opini publik tanpa kedalaman.
“Fungsi pers bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan menjadi kontrol sosial dan berpihak pada kebenaran. Ia juga mengingatkan bahwa jurnalisme sering terjebak pada multiple quoting tanpa verifikasi kebenaran, sehingga publik kesulitan membedakan informasi yang sahih. Media tidak boleh didikte oleh klik dan rating,”tegas Budiman.
Adapun Pakar Pemilu dan Demokrasi Titi Angreani mengingatkan soal independensi penyelenggara pemilu. Menurutnya, Bawaslu, KPU, dan DKPP seharusnya berperan sebagai fourth branch of power, bukan proksi kekuasaan.
“Revisi UU Pemilu gagal, penataan dapil dan kuota perempuan tak berjalan, bahkan masa jabatan penyelenggara diperpanjang. Ini membuat publik kehilangan representasi politik yang sejati. Pemisahan pemilu nasional dan daerah menjadi krusial untuk memperbaiki sistem. Selain itu, sistem pemilu juga harus dievaluasi. Proporsional terbuka telah membuka celah besar bagi politik transaksional. Pilihan alternatif adalah sistem campuran yang lebih akuntabel. Ia menambahkan bahwa civil society, media, dan universitas harus terus terkonsolidasi menjaga demokrasi, ,” jelas Titi.
Seminar ini diharapkan menjadi refleksi kritis sekaligus tawaran solusi agar demokrasi Indonesia tidak terjebak dalam stagnasi.
“Demokrasi membutuhkan perbaikan kelembagaan, penguatan oposisi, serta komitmen media pada kebenaran agar tetap tahan terhadap godaan populisme, cengkeraman oligarki, dan ketidakpastian ekonomi politik global, ” tutupnya.