Menu

Mode Gelap
Makin Panas, Kuasa Hukum APSP Kembali Laporkan Astra Agro Lestari Di Bareskrim Polri Dirut PLN Bukan Hanya Bikin Bali Gelap, Tapi Bikin Bahlil Lahadalia Gelap Mata Darurat Galian C Ilegal di Lebak, Matahukum Minta Kapolres Segera Bertindak Presiden Prabowo Umrah Bersama Menag Nasaruddin Umar, Doakan Keberkahan untuk Bangsa Indonesia Anggota DPR Desak Implementasi Pendidikan Dasar Gratis Pansel Buka Calon Anggota Ombudsman RI, Begini Syaratnya

Opini

Pakar Intelijen : Masih Terlalu Dini Untuk Prediksi Situasi Keamanan di Pemilu 2024


Keterangan foto : Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dan keamanan Universitas Indonesia, Sabtu (24/6/2023) Perbesar

Keterangan foto : Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dan keamanan Universitas Indonesia, Sabtu (24/6/2023)

Teropongistana.com Jakarta – Gangguan keamanan dan stabilitas negara menjelang pemilu 2024 masih menjadi isu dan kekhawatiran yang luas di masyarakat. Namun menurut pandangan dari Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dan keamanan Universitas Indonesia saat ini masih terlalu dini untuk bisa memberikan prediksi terhadap situasi keamanan karena masih belum ditentukan siapa pasangan capres dan cawapres yang akan maju dalam kontestasi.

“Saya kira tergantung dari calon presiden dan wakil presidennya, siapa kontestannya, jumlahnya berapa pasang. Ini berpengaruh terhadap situasinya. Jadi kalau ada orang memprediksi pasti ini, pasti ini. Itu terlalu terburu-buru.” ujarnya mengawali pandangannya saat ditemui di Jakarta, Jum’at (23/6).

Dosen di Sekolah Kajian Strategis dan Global- Universitas Indonesia ini lalu menambahkan bahwa apabila sudah muncul jelas perihal figur calon dan latar belakang partai serta siapa massa dibelakangnya, maka hal tersebut bisa menjadi indikator-indikator untuk memprediksi situasi politik dan keamanan nantinya.

Pria asal Jawa Tengah ini menyatakan bahwa potensi ancaman keamanan bisa lebih besar apabila nantinya bila hanya ada dua pasang calon yang masing-masing mewakili mahzab politik yang berbeda. Hal ini akan memperbesar polarisasi di masyarakat yang dapat berkembang menjadi konflik.

“Kita bisa berasumsi bahwa situasi akan sangat tidak enak ketika akan hanya ada dua pasang calon yang masing-masing mewakili dua aliran politik atau dua latar belakang pendukung yang berbeda, misal satu kelompok nasionalis yang maju dan yang satu kelompok agamis, atau satu pasangan calon mewakili pemerintah berkuasa saat ini dan satunya lagi mewakili oposisi. Wah ini ramai ini, bisa berbahaya.” ujarnya.

Tetapi bagi lulusan Kajian Stratejik Intelijen UI ini meyakini bahwa pemerintah sudah bisa membaca situasi mana yang berbahaya bagi keamanan negara serta menyiapkan upaya-upaya untuk mencegah dan mengatasinya.

Senada dengan pandangan pengamat lain yang mengelompokkan potensi ancaman pemilu menjadi beberapa kluster, yang diantaranya adalah konflik horizontal, serangan siber, perang propaganda, ancaman ideologi dan krisis global. Pria empat puluh tahun ini juga menambahkan bahwa kluster-kluster tersebut adalah cara atau tools, yang ujungnya bermuara pada perebutan kekuasaan, dan cara-cara tersebut bergantung pada kreativitas pelaku dan situasi di masing-masing wilayah.

“Itu tadi cara, dan cara merebut kekuasaan itu banyak serta bisa brutal. Misalnya di daerah yang belum terjangkau teknologi pasti siber tidak efektif, lebih mudah untuk menggerakkan masa langsung. Atau di kelompok masyarakat yang bisa dimasukkan unsur politik identitas, maka cara itu yang dipakai. Klaster itu tergantung di mana lokasinya dan bagaimana karakteristik masyarakat disekitarnya.” sambungnya.

Menyikapi perihal black campaign dan semburan hoaks yang marak terjadi di pemilu sebelumnya, Doktor Ilmu Administrasi UI ini masih meyakini bahwa fenomena ini akan selalu muncul di setiap gelaran pemilu selama masih belum ada figur- figur kuat dan berkualitas yang dimunculkan oleh Parpol.

“Kenapa orang menggunakan politik identitas itu karena Parpol itu sebenarnya gagal menampilkan tokoh berkualitas yang mampu menjual ide dan program, sehingga dia hanya menjual dirinya dengan isu-isu identitas. Kita tidak usah ke capres dulu, misalnya untuk menentukan caleg di DPR, apakah parpol melakukan uji kompetensi ke mereka? Tidak.” Ujar Stanislaus.

Terkait dengan ancaman rusuh dari kelompok teroris dan radikalis serta kelompok lainnya, yang banyak diistilahkan sebagai “Penumpang Gelap” dalam gelaran pemilu, pemilik disertasi tentang Pencegahan Terorisme ini mengingatkan bahwa semua kelompok berpotensi untuk menyulut konflik, sehingga yang harus diperkuat adalah unsur pencegahannya. Salah satunya adalah aturan main dan ketegasan dari unsur penyelenggara pemilu atau KPU dalam menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.

“Kita belajar dari pengalaman sebelumnya, kita sudah tau mana kelompok-kelompok mana yang bisa ditumpangi dan mana yang tidak. Misal kelompok-kelompok radikal, dia tidak akan menumpang di kelompok-kelompok nasionalis, dia akan menumpang dikelompok agamis karena mungkin di merasa lebih diterima di kelompok itu. Terus saya kira semua kelompok berpotensi untuk berbuat rusuh. Jadi yang kita jaga ini berarti bukan kelompoknya, yang harus kita jaga ini adalah aturan-aturannya, misalnya di KPU apa yang boleh apa yang tidak. Misalnya KPU harus tegas melarang menggunakan politik identitas, dijaganya di situ.”

Menganalisis trend dari apa yang terjadi di pemilu 2017 dan 2019 dimana pesta demokrasi dan kontestasi politik akan dimasuki unsur unsur SARA dan politik identitas yang dapat memicu konflik.

Stanislaus Riyanta menyatakan itu akan terjadi lagi jika KPU tidak sejak awal memberikan batasan dan rambu rambu yang jelas. Dia memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku-pelaku pengusung isu SARA dan pengguna politik identitas karena maraknya penggunaan unsur SARA dan politik identitas ini membuat peradaban bangsa. Kata Stanislaus, kita seolah-olah mundur kebelakang dan mengakibatkan dehumanisasi dalam proses berbangsa dan bernegara.

Terakhir, Stanislaus Riyanta menegaskan bahwa untuk menjamin keamanan negara sebelum, selama dan sesudah pemilu, pemerintah harus menitikberatkan pada aspek pencegahan, pengetatan regulasi dan kesadaran masyarakat.

“Saya kira banyak cara yang bisa dilakukan, terutama pada fase pencegahan dulu, diperketat regulasi supaya orang tidak melakukan pemilu yang merendahkan martabat manusia, kemudian kesadaran manusia dan masyarakat perlu dipupuk, perlu ada sosialisasi, regulasi disiapkan. Kemudian pemerintah juga harus siap untuk mengelola dan melaksanakan pemilu yang baik. Saya kira itu yang paling penting, ada regulasi, ada masyarakat yang memiliki kesadaran dan pemerintah melaksanakan regulasi itu dengan benar dan tegas.” Pungkasnya mengakhiri diskusi kami siang itu.

Baca Lainnya

Ganti Menteri-Ganti Kurikulum dan Independensi Pendidikan

30 Mei 2025 - 19:16 WIB

Ganti Menteri-Ganti Kurikulum Dan Independensi Pendidikan

Perang Dagang, China Diprediksi Tumbang Oleh Amerika

17 April 2025 - 11:00 WIB

Perang Dagang, China Diprediksi Tumbang Oleh Amerika

Tantangan Ekonomi Nasional dan Jalan Panjang Menuju Pemulihan

9 April 2025 - 00:56 WIB

Kades Pagelaran Diduga Tilep Duit Ratusan Juta Libatkan Pns Di Malingping
Trending di Opini