Teropongistana.com Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap potensi kerugian negara dalam skandal dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT. Pertamina Patra Niaga. Rabu, (26/02/2025).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, memperkirakan angka kerugian bisa membengkak hingga Rp 986,5 triliun dalam kurun waktu lima tahun. Pasalnya, hanya untuk tahun 2023 saja, negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 193,7 triliun.
Perhitungan tersebut masih bersifat sementara, sebab penyidik masih menelusuri dugaan praktik korupsi sejak 2018 hingga 2023. Kerugian ini mencakup beberapa faktor utama, seperti pemborosan akibat impor minyak, penggunaan perantara dalam impor BBM, hingga manipulasi subsidi.
Menurut Harli, jika tren kerugian tahunan mencapai Rp 193,7 triliun, maka total kerugian selama lima tahun bisa menyentuh Rp 986,5 triliun. Saat ini, Kejagung bersama para ahli masih melakukan audit lebih rinci guna memastikan angka pastinya.
Salah satu modus yang disorot adalah dugaan pembelian Pertalite yang kemudian dioplos menjadi Pertamax, tetapi dengan harga beli yang tetap dihitung sebagai Pertamax. Atas dugaan tersebut, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS).
Selain RS, tersangka lainnya mencakup Yoki Firnandi (YF), Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; SDS, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; serta AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Tersangka lainnya adalah MKAR, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; serta GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Skandal ini menambah daftar panjang kasus korupsi di sektor energi yang merugikan rakyat. Dengan angka kerugian yang nyaris menyentuh Rp 1.000 triliun, masyarakat layak mempertanyakan: sampai kapan mafia migas dibiarkan merampok uang negara?