Teropongistana.com Jakarta – Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) hingga 250 persen di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menuai banyak perbincangan publik. Kebijakan serupa juga ditemukan di sejumlah daerah lain seperti Cirebon, Jombang, Bone, hingga Banyuwangi.
Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai lonjakan pajak tersebut mencerminkan buruknya tata kelola pemerintahan, bahkan sampai pada level pusat. Ia menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani gagal mengantisipasi fenomena kenaikan pajak daerah yang memberatkan rakyat.
“Sejak era rezim Jokowi, sistem pemerintahan sudah rusak dan menyebar ke daerah-daerah. Banyak kepala daerah tidak melihat kesusahan rakyatnya. Pati menaikkan PBB 250%, Jombang 300%, Banyuwangi 200%. Mereka tidak mengacu ke UU Perpajakan yang ada,” kata Jerry di Jakarta, Kamis (23/8/2025).
Jerry menegaskan, kenaikan PBB lebih dari 100 persen jelas melampaui batas yang diamanatkan undang-undang. Wajar jika masyarakat Pati bergejolak.
“Harusnya dilihat dulu pendapatan dan pekerjaan masyarakat, lalu dibuat klasifikasi—apakah kaya, menengah, atau miskin. Jangan asal naikkan. Pemda seharusnya berkomunikasi dulu dengan pemerintah pusat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jerry mengingatkan bahwa lonjakan PBB di atas 200 persen bisa memicu keresahan sosial dan dianggap sebagai “pemalakan liar” oleh kepala daerah.
“Kalau naiknya 10–20 persen masih bisa ditoleransi. Tapi di atas 200 persen itu sudah ada yang salah. Ini berarti kepala daerah tidak pro rakyat,” ujarnya.
Jerry juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan. Menurutnya, Sri Mulyani patut dipertanyakan kapasitasnya karena kecolongan dalam mengendalikan kebijakan pajak daerah.
“Psikologi dan mental kepala daerah perlu dicek. Jangan sampai kejadian di Pati terulang di daerah lain. Kalau pemimpin otaknya kosong, hanya bikin aturan yang menyengsarakan rakyat, itu tanda gagalnya sistem pemerintahan,” pungkasnya.