Teropongistana.com JAKARTA – Wartawan korban kekerasan dan penganiayaan sekelompok orang diduga suruhan juragan tambang emas ilegal di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, sejak 2022 hingga hari ini tak kunjung ditangkap polisi.
Kasus ini menambah deretan panjang banyaknya ancaman kepada jurnalis Tanah Air yang tak kunjung disadari berbagai pihak sebagai pilar keempat demokrasi dan anak sulung reformasi 1998 yang menggulingkan pemerintahan otoriter dan korup Orde Baru.
Kesadaran ini mestinya juga menjadi pedoman buat aparat penegak hukum, terutama kepolisian. Bila ada pihak yang mencoba mencederai kerja kerja pers nasional, polri mesti sigap mengusut kasusnya dengan tuntas. Jangan malah turut serta menghalangi atau menjadi pelaku kriminalisasi terhadap wartawan.
Publik baru saja dikagetkan dengan kasus kiriman kepala babi tanpa kuping ke kantor redaksi Tempo. Tidak berselang beberapa hari, teror susulan dilemparkan ke halaman kantor redaksi Tempo yang dikenal sebagai media independen dan investigatif.
Sudah dua minggu kasus ini viral, namun pelakunya tak kunjung ditangkap pihak kepolisian.
Begitu juga kasus kekerasan yang dialami wartawan di Kabupaten Madina bernama Lesmana. Karena lamanya kasus ini dan menjadi ancaman dan teror bagi kalangan wartawan dan pegiat anti korupsi, Lesmana berharap Kapolri memberikan perhatian serius.
“Jangan karena kami di daerah jauh dari Jakarta, sehingga kasus ini dipermainkan,” ujar Lesmana kepada media saat dihubungi wartawan, 29/3/25.
Lesmana menjelaskan, pasca laporannya di Polsek Siabu, terduga pelaku memang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2022. Namun, hingga saat ini tersangka tersebut masih bebas berkeliaran dan polisi terkesan berkelit belum menemukan tersangka.
Lesmana pun mengisahkan kasus yang menimpanya beberapa tahun lalu itu.
Dia mengaku berangkat ke lokasi tambang di Desa Tangga Bosi Bukit Siayo pada 27 Maret 2022 pukul 17.00 WIB.
“Perjalanan menelusuri jalan tikus yang cukup jauh dan melelahkan ini memakan waktu 4 jam lebih hingga tiba dilokasi sekitar jam 21.30 WIB. Saya bersama kawan saya dua orang beristirahat di kamp atau postnya Hendrik,” ujarnya.
Berselang beberapa jam, tiba-tiba segerombolan orang merangsek masuk ke gubuk peristirahatan tersebut. Seorang di antara mereka bersuara lantang dan emosi menanyakan Lesmana.
“Setelah memastikan saya adalah targetnya, seketika itu pula yang bersangkutan memukul saya pakai kayu di bagian kepala kiri saya membabi buta. Selanjutnya, saya perhatikan yang bersangkutan makin kalap dan mencabut parang,” terangnya.
Lesmana mengaku langsung melakukan upaya menyelamatkan diri dari gempuran tujuh orang di tengah hutan lokasi tambang tersebut. Begitu pula rekan-rekannya yang masing-masing menyelamatkan diri masing-masing.
“Alhamdulilah, kejadian mengerikan yang mengancam keselamatan jiwa kami malam itu, berkat kuasa Allah kami selamat yang secara logika adalah keniscayaan untuk bisa selamat.
Pria yang dikenal sebagai jurnalis kritis di Kabupaten Madina ini menambahkan, setelah tiba di kampung pada pagi harinya, segera melaporkan kasus penganiayaan ini ke Polsek Siabu.
Pihak penyidik Polsek Siabu pun segera memproses hingga ditetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni Fulifati Harefa alias Ama Ope, Gatishoki Gulo alias Ama Andi, dan Ama Zulpan Zega.
Sayangnya, hingga tiga tahun berlalu, kasus teror dan tindakan kriminal pembungkaman terhadap wartawan dan kebebasan pers ini tak kunjung berhasil diungkap Polsek Siabu.
“Saya sangat kecewa. Kinerja oknum polri di sini yang disebut-sebut Presisi oleh Kapolri, Bapak Listiyo Sigit Prabowo, hanya slogan semata di Polsek Siabu dan Polres Madina,” keluh Lesmana.
Padahal, kata dia, keberadaan tersangka Fulifati Harefa, Gatishoki Gulo dan Ama Zulpan Zega sering dijumpai masyarakat.
“Selain secara fisik yang bersangkutan tetap berada di wilayah Madina, medsos ketiganya pun sering pamer kemewahan dan mempertontonkan dirinya dengan bergepok-gepok uang di postingan medsosnya,” kata Lesmana sambil mengirimkan bukti aplikasi tiktok yang bersangkutan.
Dikatakan Lesmana, Kapolres Madina bersama jajarannya tidak serius dalam menangani perkara penganiayaan tersebut dan seakan ada yang disembunyikan.
“Saya menduga kuat ada setoran mengalir dari para bos tambang emas ilegal tersebut kepada oknum polisi di Polres Madina sektor Polsek Siabu. Aneh saja selama 3 tahun pelaku bebas berkeliaran sambil bermain TikTok dengan memperlihatkan tumpukan uang,” tegasnya.
Lesmana juga menyebut, kegiatan penambangan ilegal, khususnya emas, terus berlangsung dan belum ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah, mulai dari desa, kecamatan, hingga penegak hukum, yang semuanya terkesan membiarkan.
“Seakan pelaku dan bos tambang emas ilegal tersebut lebih kuasa dan sakti dari kepolisan. Hal ini terindikasi kuat dari pengamanan perkara ini selam tiga tahun Polres Madina yang tidak sanggup menangkap tersangka,” ungkapnya.
Di tempat yang berbeda, Nani Maulana, penggiat lingkungan Mata Tunas 17 mengatakan, sah-sah saja jika korban mempunyai dugaan oknum Polres Madina menerima setoran dari bos tambang emas ilegal karena sudah 3 tahun kasusnya tidak ada hasil.
“Apalagi pelaku sering meneror dan nomor teleponnya aktif, bahkan sering mengancam korban. Aneh jika polisi tidak bisa melacak keberadaanya tersangka,” kata Nani Maulana.
Info Indonesia yang mengkonfirmasi progres kasus ini ke Plt Kapolsek Siabu, Rizki Anwar, lewat ponselnya hanya menyatakan kesediaannya menjelaskannya di kantornya.
Sementara itu, Kapolres Madina, AKBP Arie Sofandi Paloh, belum memberikan penjelasan kendala dan hambatan jajarannya dalam menangkap tersangka penganiayaan wartawan tersebut.